Mohon tunggu...
Dimas Aryo Saputra
Dimas Aryo Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Tulis aja dulu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[Resensi] Makna "Pulang" Karya Tere Liye

27 Februari 2018   19:08 Diperbarui: 27 Februari 2018   20:06 5273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://hype.idntimes.com/entertainment/shibgho/tere-liye-tak-cetak-buku-lagi-c1c2

Novel Pulang karya Tere Liye menjadi pembahasan pada kali ini karena novel ini sangat menarik untuk dikaji. Hal yang menarik dari novel ini terletak pada temanya, yakni perjuangan pulang seorang anak laki-laki yang mencari jati diri dan hakikat kehidupannya yang bernama Bujang. Masalah yang dihadapi Bujang juga menarik, yaitu masalah ekonomi yang dihubungkan dengan dunia tukang pukul. Novel pada umumnya menceritakan kisah cinta terhadap lawan jenis, namun melalui novel ini kita menyadari bahwa cinta itu luas. Cinta terhadap diri sendiri, orang tua, teman dan sahabat. Pengarang menyajikan kisah cinta ini diserati dengan penkhianatan.

Pengkhianatan ini menjadi salah satu konflik menarik. Selain itu, pengarang menambahkan unsur religius dalam perjuangan dan kepahlawanan tokoh. Ilmu ekonomi dalam novel ini dapat diapahami pembaca dengan mudah, karena pengarang menjelaskannya terperinci dan sederhana.  Pengarang pun mendeskripsikan dengan detail lokalitas pedalaman Sumatera. Ilmu ekonomi dipadukan dengan cerita aksi dan religius yang dapat menggugah hati. Cerita pada novel ini tidak lepas dari dunia gelap dan tukang pukul, namun pengarang mampu menghadirkan unsur komedi disela aksi-aksi tersebut.

Novel ini menggunakan alur maju mundur, artinya dalam cerita tersebut terdapat flashback ke masa lalu dan kejadian yang akan datang. Hal ini dapat dibuktikan ketika Bujang hendak meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Sebelum keberangkatan sang anak, mamak menitipkan pesan yang begitu berharga.

"Berjanjilah kau akan menjaga perutmu (dari makanan dan minuman haram dan kotor) itu, Bujang. Agar.... Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik yang putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang." (Halaman 24).

Setelah itu pembaca dibawa oleh penulis menuju 20 tahun kemudian. Saat Bujang berubah menjadi pribadi yang sangat mantap, akademis, kokoh, dan bermata tajam. Ia menemui calon presiden terkuat. Memperingatkannya agar tak mengubah apapun dan tak mengusik bagaimanapun bisnis keluarga tong yakni Shadow Economy.

"Dua puluh tahun melesat cepat. Hari ini ruangan dengan nuansa tradisional itu terlihat nyaman. Lantai marmernya yang mengkilap. Ada meja panjang yang terbuat dari kayu jati pilihan dan beberapa kursi empuk. Lukisan karya maestro ternama tergantung di dinding, juga hiasan ukir-ukiran berkualitas nomor satu." (Halaman 27).

Selepas itu alur kembali ke masa lalu. Ketika Bujang sampai di kediaman Tauke Muda untuk pertama kalinya. Bertemu banyak kawan baru. Salah satunya adalah basyir seorang anak muda yang terobsesi menjadi kesatria penunggang kuda suku Bedouin. Kini jelas apa tujuan Bujang di ajak oleh Tauke Muda. Ia akan di latih sama seperti bapaknya, menjadi tukang pukul nomor satu keluarga Tong. Jauh panggang dari api, semua harapan itu menguap. Bukannya belajar silat atau bela diri, Bujang malah diminta untuk meminta memukuli kertas dengan pulpen didampingi oleh Frans guru asal Amerika.

"Dua puluh tahun lalu, gerimis turun saat empat mobil jip melintasi gerbang selamat datang kota. Pukul sebelas malam. Wajahku menempel di jendela kaca, menatap lamat-lamat lampu jalanan suram yang dibungkus tetes hujan. Aku belum pernah meninggalkan kampung di lereng Bukit Barisan, belum pernah melakukan perjalanan sejuah ini. Semuanya terlihat menarik. Tidak ada pepohonan, digantikan rumah-rumah dan bangunan rapat. Jalan besar dengan lampu-lampu. Lebih banyak mobil berlalu lalang. Jembatan panjang, gedung tinggi." (Halaman 38).

Penokohan karakter Bujang dalam novel ini digambarkan sebagai anak yang pemberani yang tidak memiliki rasa takut dan penurut terhadap orang tuanya. Hal ini dapat dibuktikan di masa remajanya saat berburu babi bersama Tauke Muda dan ketika rombongan pemburu sedang bersiap di rumahnya.

"Bujang! Bapakku berseru dari atas, sudah naik teras rumah panggung, "Kau bantu mamak kau menyiapkan makanan. Jangan hanya berdiri tak guna di bawah sana."

Aku mengangguk, Segera menaiki anak tangga." (Halaman 4).

"Jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik, dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut." (Halaman 1).

"Malam itu, dadaku telah dibelah. Rasa takut telah dikeluarkan dari sana.

Aku tidak takut.

Aku bersiap melakukan pertarungan hebat yang akan dikenang. Hari saat aku menyadari warisan leluhurku yang menakjubkan, bahwa aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut." (Halaman 20).

Selain Itu Bujang adalah seseorang yang sangat pintar, jenius, tidak mengenal rasa takut. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.

"Kau memang kesulitan menjawab pengetahuan umum, tapi itu bisa dimengerti kau tidak pernah sekolah dan tidak pernah mengenal dunia luar. Tapi nilai logika, matematika, dan potensi akademik lainnya, itu seperti sudah menjadi sifatmu. Kau jenius, Bujang." (Halaman 50-51).

"Aku tahu pemuda itu, sedikit. Dia satu kampus denganku di Amerika, menyelesaikan dua master sekaligus empat short-coursedalam waktu singkat. Dia lulus dengan nilai sempurna. Tidak ada yang tahu latar belakangnya. Semua serba misterius. Tapi bukan itu hal mengerikannya tentangnya. Di tahun kedua, saat aku masih di sana, kampus kami kedatangan atlet lari cepat pemegang rekor dunia. Pemuda itu menantang atlet itu untuk lomba lari. Hanya beberapa orang yang menyaksikannya, di stadion tertutup kampus, dia mengalahkan atlet pemegang rekor dunia itu seperti mengalahkan seorang anak kecil." (Halaman 35).

Samad adalah bapa bujang, dia memiliki sifat yang keras, memiliki rasa balas budi yang tinggi dan kesetiaan. Midah adalah ibu dari tokoh Bujang yang memiliki sifat penyayang dan sangat khawatir jika itu menyangkut soal Bujang.

"Kemari kau Bujang, Bapakku berseru lagi.

Aku yang sedang mengangkat ceret berisi kopi panas menoleh.

"Ayo!" Bapakku melotot, tidak sabaran.

Aku bergegas melangkah ke sudut tikar."(Halaman 5).

"Dia bahkan tidak pernah masuk hutan sendirian. Mamaknya sangat pencemas. Semua serba dilarang, takut sekali anaknya terluka. Mentang-mentang anak satu-satunya." (Halaman 5).

"Ayolah, Midah. Tauke Muda memintanya sendiri, dan harus berapa kali aku bilang, kita tidak bisa menolak permintaanya. Aku berutang segalanya." (Halaman 6).

Masih banyak lagi tokoh-tokoh lain dalam cerita ini antara lain, Tauke Muda, dia adalah pimpinan keluarga tong dan dialah yang menyekolahkan Bujang hingga Bujang menjadi orang bisa dikatakan sempurna karena kecerdasan dan ketangkasannya. Kopong adalah tukang pukul keluarga Tong dan dia yang mengajarkan Bujang cara berkelahi. Guru Bushi adalah guru kedua Bujang yang mengajarkan tentang bela diri Jepang seperti shuriken dan belajar menjadi samurai sejati. Frans si Amerika adalaha guru yang mengajarkan bujang tetang pengetahuan umum dan akademik, sehingga berhasil membuat Bujang kuliah di Amerika. Perwez adalah direktur utama group perusahaan milik keluarga Tong. Tuanku Imam, kakak tertua mamak Bujang dan tokoh lainnya yang tidak dapat disebutkan.

Latar awal cerita ini berada di sebuah desa terpencil di pedalaman Sumatera. Di desa inilah Bujang dibesarkan hingga dia di bawa oleh Tauke Muda ke kota provinsi.

"Malam itu, ditengah hujan lebat, di dasar rimba Sumatra yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus napasnya yang memburu, dan taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi rasa takut." (Halaman 1).

"Sekejap empat mobil itu telah meninggalakan talang di lereng Bukit Barisan. Tanah kelahiranku, tempat aku dibesarkan hingga umur lima belas tahun. Tempat terbuangnya Bapak dan Mamakku karena cinta mereka tidak pernah direstui." (Halaman 26).

"Dua puluh tahun lalu, gerimis turun saat empat mobil jip melintasi gerbang selamat datang kota. Pukul sebelas malam. Wajahku menempel di jendela kaca, menatap lamat-lamat lampu jalanan suram yang dibungkus tetes hujan. Aku belum pernah meninggalkan kampung di lereng Bukit Barisan, belum pernah melakukan perjalanan sejuah ini. Semuanya terlihat menarik. Tidak ada pepohonan, digantikan rumah-rumah dan bangunan rapat. Jalan besar dengan lampu-lampu. Lebih banyak mobil berlalu lalang. Jembatan panjang, gedung tinggi." (Halaman 38).

Setelah setahun di kota provinsi keluarga Tong mengalami kemajuan yang sangat cepat, menguasai berbagai tempat di kota dan menguasai pelabuhan. Tepat di acara perayaan tahunan Tauke Muda mengumumkan kepindahan ke Ibu Kota.

"Mobil sedan hitam gelap yang kukendarai meluncur di jalanan padat Ibu Kota, gesit melintas di sela-sela mobil lain." (Halaman 37).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun