Mohon tunggu...
Dimas Arif Setiawan
Dimas Arif Setiawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Mahasiswa Jurnalistik di salah satu Kampus diJjakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inilah Aku

4 Mei 2012   21:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:42 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pemuda Ababil

Oleh : Dimas Arif Setiawan

Sebuah keluarga berencana yang ku ketahui ketika sudah memakai baju putih biru dan adik memakai seragam putih merah. Aku anak pertama dari keluarga yang sederhana ini mulai belajar memahami kehidupan sejak smp dahulu. Sifat egois dan tempramental membuatku selalu mendapatkan apa yang aku mau, namun berbeda dengan adikku sejak dulu dia jarang merengek jika tidak membutuhkan barang keinginannya tidak seperti aku yang sekali minta harus ada.

Suatu hari ketika aku menginjak masa dewasa dan mulai bergaul dengan dunia luar aku terlibat dengan asap roko dan menjadi pecandu roko yang sangat kuat, pada saat ingin berangkat sekolah aku lupa menyembunyikan sebungkus rokok beserta korek dari motor yang kutunggangi setiap hari ke sekolah. Berawal dari situ sosok bapak yang tegas memberi pengarahan tentang bahaya meroko dengan nada yang keras yang kuanggap itu sebuah omelan. Setiap hari topik yang di bicarakan tentang semua kesalahanku dari bangun siang akibat pulang larut malam sekaligus merokok yang sudah menjadi candu nikotinnya.

Ababil memang pada saat itu saya merasa seperti anak kecil yang di marahin dan langsung kabur selama beberapa hari menghindar dari rumah, handphone dan motor aku tinggal dirumah, semua fasilitas aku tidak bawa saat itu kecuali uang jajan harian, padahal aku hanya ingin kebebasan seperti para sahabatku yang bebas pulang malam dan merokok. Cukup salah memang tindakan yang aku lakukan saat itu, sekitar 3 hari tidak memberi kabar dan tidak pulang akhirnya salah satu kawanku menceritakan bahwa kedua orang tuaku mencari - cariku. Aku sadar saat itu batas kenakalanku sudah tidak wajar membuat ibuku menangis setiap hari pada saat aku pergi dari rumah, dan bapakku yang terus menerus menelpon satu - satu kawanku.

Sore itu moment saat aku anak yang bandel, egois, dan seperti anak kecil yang harus selalu di turuti dan harus ada yg aku inginkan berjalan pulang dengan langkah yang tegar. Dari pintu depan ibu dan bapakku memeluk badanku dan menangis melihat aku pulang. Mereka meminta maaf atas perlakuan kerasnya dan aku pun menangis terharu lalu meminta maaf kepada kedua orang tua ku.

Memang kedua orang tua selalu memikirkan dimana pun anaknya berada dan selalu mengkhawatirnkan tentang apa yg terjadi pada anaknya. Seperti orang tuaku ini yang sangat sayang kepadaku namun aku salah paham menilai tentang arti sayang mereka kepadaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun