Pemuda Ababil
Oleh : Dimas Arif Setiawan
Sebuah keluarga berencana yang ku ketahui ketika sudah memakai baju putih biru dan adik memakai seragam putih merah. Aku anak pertama dari keluarga yang sederhana ini mulai belajar memahami kehidupan sejak smp dahulu. Sifat egois dan tempramental membuatku selalu mendapatkan apa yang aku mau, namun berbeda dengan adikku sejak dulu dia jarang merengek jika tidak membutuhkan barang keinginannya tidak seperti aku yang sekali minta harus ada.
Suatu hari ketika aku menginjak masa dewasa dan mulai bergaul dengan dunia luar aku terlibat dengan asap roko dan menjadi pecandu roko yang sangat kuat, pada saat ingin berangkat sekolah aku lupa menyembunyikan sebungkus rokok beserta korek dari motor yang kutunggangi setiap hari ke sekolah. Berawal dari situ sosok bapak yang tegas memberi pengarahan tentang bahaya meroko dengan nada yang keras yang kuanggap itu sebuah omelan. Setiap hari topik yang di bicarakan tentang semua kesalahanku dari bangun siang akibat pulang larut malam sekaligus merokok yang sudah menjadi candu nikotinnya.
Ababil memang pada saat itu saya merasa seperti anak kecil yang di marahin dan langsung kabur selama beberapa hari menghindar dari rumah, handphone dan motor aku tinggal dirumah, semua fasilitas aku tidak bawa saat itu kecuali uang jajan harian, padahal aku hanya ingin kebebasan seperti para sahabatku yang bebas pulang malam dan merokok. Cukup salah memang tindakan yang aku lakukan saat itu, sekitar 3 hari tidak memberi kabar dan tidak pulang akhirnya salah satu kawanku menceritakan bahwa kedua orang tuaku mencari - cariku. Aku sadar saat itu batas kenakalanku sudah tidak wajar membuat ibuku menangis setiap hari pada saat aku pergi dari rumah, dan bapakku yang terus menerus menelpon satu - satu kawanku.
Sore itu moment saat aku anak yang bandel, egois, dan seperti anak kecil yang harus selalu di turuti dan harus ada yg aku inginkan berjalan pulang dengan langkah yang tegar. Dari pintu depan ibu dan bapakku memeluk badanku dan menangis melihat aku pulang. Mereka meminta maaf atas perlakuan kerasnya dan aku pun menangis terharu lalu meminta maaf kepada kedua orang tua ku.
Memang kedua orang tua selalu memikirkan dimana pun anaknya berada dan selalu mengkhawatirnkan tentang apa yg terjadi pada anaknya. Seperti orang tuaku ini yang sangat sayang kepadaku namun aku salah paham menilai tentang arti sayang mereka kepadaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H