Angin segar saat ini semakin mendekati Bangsa Indonesia dengan RKUHP ini. Masyarakat luas khusunya sebagai pihak yang diharapkan oleh negara mampu untuk tidak melanggar segala apa yang telah tertuang dalam RKUHP sehingga dapat mewujudkan tujuan pemidanaan yakni mencegah dilakukannya  Tindak  Pidana  dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;  memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (vide Pasal 52 ayat (1)). Pemidanaan sendiri dalam pandangan RKUHP tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia (vide Pasal 52 ayat (2)
Perubahan Paradigma Pemidanaan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP yang tengah digodok saat ini memiliki karakteristik dan cara pandang yang jauh berbeda dengan KUHP yang lama. Meskipun demikian, perubahan paradigma yang sungguh signifikan ini masih kurang diperhatikan. Penulis disini mencoba menuangkan perubahan paradigma yang terjadi. RKUHP sebagai pedoman umum hukum pidana di Indonesia saat ini telah memasukkan serangkaian asas-asas hukum yang semula sama sekali belum masuk pada KUHP lama, asas-asas hukum pada KUHP lama cenderung muncul dari doktrin-doktrin para ahli hukum pidana, bukan berasal murni ketentuan KUHP. Saat ini, asas-asas yang tertuang dalam RKUHP ini mau-tidak mau haruslah dipakai oleh para aparat penegak hukum.
Eksistensi Asas Legalitas yang saat ini dibarengi pula oleh hukum yang hidup di masyarakat merupakan dobrakan pemikiran yang sungguh berani. Sebab, dengan adanya asas legalitas berdampingan dengan hukum yang hidup di masyarakat memberikan legalitas dan legitimasi pada masyarakat adat supaya makin eksis dan diakui oleh Negara keberadaannya. Namun, hal yang menarik dan cukup sulit untuk dibayangkan ialah aturan pelaksana dan penerapan ketentuan ini pada masyarkat yang multi-heterogen di Indonesia, baik dari segi etnis, suku, agama, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, tingkat kesejahteraan, tingkat kesehatan, dan segala macam variabel sosial yang lain. Pendalaman yang komprehensif atas persoalan ini perlu dipikirkan masak-masak, apalagi dengan adanya ketentuan pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu bentuk pidana tambahan (vide Pasal 66 ayat (1) huruf f).
Kecenderungan RKUHP saat ini menggunakan pendekatan yang jauh berbeda, dari yang semula semata-mata pidana untuk menghukum pelaku tindak pidana, saat ini pidana diharapkan menjadi upaya kortektif pada pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana.
Kaitannya dalam hal hakim menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana harus memperhatikan kepastian hukum dan keadilan, dalam hal terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka diutamakan keadilan (vide Pasal 53 RKUHP).
RKUHP sudah memberikan pula pedoman pemidanaan bagi hakim yang cukup spesifik bilamana akan menjatuhkan pidana yakni kesalahan pelaku Tindak Pidana; motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; sikap batin pelaku Tindak Pidana;Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; cara melakukan Tindak Pidana; sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban; Â pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. (vide Pasal 54 ayat (1) RKUHP).
Bahkan dalam RKUHP saat ini juga mengakomodir pedoman pemidanaan yang pelakunya merupakan korporasi, hakim wajib memberikan pertimbangan yakni tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan; tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemberi perintah, dan/atau pemilik manfaat Korporasi; lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan; frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi; bentuk kesalahan Tindak Pidana; keterlibatan Pejabat; nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat; rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan; pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana. (vide Pasal 56 ayat (1) RKUHP).
Semangat seperti itu yang kemudian dijumpai saat ini pada RKUHP, semangat restorative justice. Bukan hanya semata-mata pembalasan. Perubahan pola pikir ini nantinya diharapkan berdampak secara baik pada tatanan sosial dan mendobrak status quo ketidakpastian hukum pada KUHP lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H