Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FITO] Pelabuhan, Ajari Aku Menjadi Manusia

24 Agustus 2016   09:49 Diperbarui: 24 Agustus 2016   10:05 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelabuhan (sumber: kompasiana.com)

Gurat jingga menyisip pada sela gelembung awan yang menebal. Sang mentari bersiap menuju peraduannya. Mengistirahatkan diri setelah setengah hari penuh dia membakar dirinya sendiri demi makhluk hidup yang bersemayam di muka bumi. Sesorang berdiri di ujung geladak menata pada garis lintang yang tak berujung. Bintang nampaknya tak sabar untuk menerangi geladak kapal. Tuas pun diangkat, sontak bintang telah bertaburan di atas geladak kapal, sedikit mengagetkan kelopak mata.

Setelah senja ia telah berlayar menuju pulau seberang. Meninggalkan keluarganya untuk mengadu nasib. Dimas, anak kemarin sore yang masih bau kencur. Mencoba mencari keberuntungan di luar pulau (Jawa) dimana dia di lahirkan dan di besarkan.

Berbekal ilmu dan keterampilan yang dia dapatkan selama kurang lebih 3 tahun di bangku sekolah menengah kejuruan. Tanpa pikir panjang, hanya karena melihat betapa hebat kakak-kakaknya dahulu yang telah sukses mengadu nasib di pulau seberang. Ilmu dan keterampilannya masih seujung kuku, bekal restu orang tua lah yang menjadi modal besarnya. Dia percaya, bahwa restu orang tua, terutama Ibu, adalah segalanya. Sama halnya dengan restu Tuhan telah dia dapatkan.

Dengan penuh rasa khawatir, sang ibu bertanya: “Kamu jadi mau pergi ke Kalimantan nak? Sudah kamu pikirkan matang-matang?”. “Sudah bu.”, singkat jawabnya. ”Siapa nanti yang mengingatkanmu sholat? Siapa nanti yang menyiapkan makan buatmu? Dimana nanti kamu tidur?”, lanjut tanya sang ibu. Dimas bukanlah seorang anak ‘mami’, ibunya lah yang melakukan hal tersebut. Wujud rasa cinta dan sayang seorang ibu kepada anaknya.

Baling-baling kapal telah membawanya semakin menjauh dari keluarganya. Awan hitam membumbung tinggi berkejar-kejaran melalui cerobong asap. Semangatnya membara bagaikan nyala bara api di bawah cerobong asap kapal itu. Tekadnya sudah bulat! Menengok ke belakang pun ia enggan.

Sontak dia terbangun dalam lamunannya ketika seorang pria paruh baya menepuk pundaknya. “Apa yang kamu lamunkan nak? Tak baik melamun sambil berjoget.”, sapa pria itu dengan sedikit candaan. “Tak ada pak.”, lirih dan singkat jawabnya. “Ceritakan pada bapak apa yang menjadi gundahmu nak. Panggil saja bapak, Slamet.”, ujar pria paruh baya itu yang terus mencoba menelisik misteri. “Nama saya Dimas, pak Slamet.”, jawab Dimas. “Ada apa nak? Kamu berat hati meninggalkan keluargamu?”, tanya pak Slamet. “Iya pak, terutama ibu. Berat hati ini meninggalkan ibu, meskipun ibu telah ikhlas dan memberiku restu untuk mengadu nasib di pulau depan sana. Hanya tinggal ibu dan bapak di rumah. Nanti siapa yang menggantikan tabung gas jika gas ibu habis ketika memasak? Nanti siapa yang menemani bapak ngopi santai di depan rumah?.”, curahan hati Dimas langsung tertumpah di depan pak Slamet.

Tiba-tiba pak Slamet tertawa kecil. “Kenapa bapak memertawakanku? Bukankah bapak tadi ingin mendengar ceritaku?”, tanya Dimas sedikit kesal. “Anak muda, aku dulu juga merasakan dan memikirkan hal yang sama ketika pertama kali aku berangkat mengadu nasib ke pulau itu.”, terang pak Slamet. “Jika memang tekadmu telah bulat, kamu telah melangkah, maka tuntaskanlah nak! Buat berarti restu orang tuamu. Buat bangga mereka. Naikan derajat mereka. Raih cita-citamu. Orang tuamu di rumah hanya bisa mendoakanmu, doa yang terbaik tentunya. Orang tuamu dirumah hanya bisa bercerita ketika mereka bertemu dengan para tetangga. Bercerita betapa bangganya mereka akan dirimu. Tak pernah sedikitpun terucap mereka meminta ganti biayamu hingga besar dan pandai seperti ini. Mereka pun tak akan meminta jatah dari gajimu nak. Mereka pun tak merasakan prestasi yang kau raih. Mereka hanya bisa bercerita dan bercerita. Berbaktilah kepada kedua orang tuamu selagi mereka masih ada. Sepatutnya kamu menjadi anak yang tau diri. Ingat nak, jalanmu masih panjang. Tak usah kau risau maupun gundah. Semuanya yang hidup pasti akan mati. Ada perjumpaan, maka ada pula perpisahan. Hanya doa anak sholeh yang mereka harapkan nak.”, ujar nasihat pak Slamet menyadarkan Dimas.

Tuhan telah mengatur segala sesuatunya dengan sangat indah dan rapi. Tuhan pun mengaturnya dengan adil. Pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal sembari menanti penumpang. Setelah penumpang menaiki kapal, dia harus mengangkat jangkarnya untuk mengantarkan para penumpang menuju tujuannya.

Hidup di dunia ini hanyalah sementara. Tak ada kekekalan di alam fana ini. Selagi masih ada umur, jadilah manusia sebaik-baiknya manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun