Bermula dari sebuah warung kecil, menjelma menjadi sebuah kafe. Berawal dari keinginan melepas penat sambil menyesap minuman hangat bewarna hitam, hingga berpolitis. Begitulah zaman, akan berubah seiring dunia ini berputar.
Minuman bewarna hitam yang akrab disebut kopi tersebut merupakan biang dipenggalnya kepala raja Louis dan Maria Antoinette. Dari minuman bewarna hitam itu pula isi kepala kaum intelektual tercerahkan yang membuat mereka lupa akan waktu dan asyik berdiskusi.
Semua di mulai dari sini
Diawali oleh seorang Italia, Fransesco Procopio De Coltelli, lahirlah Le Procope. Saksi bisu tergulingnya feodalisme, yang tadinya sekadar ngopi menjadi revolusi. Bergeser ke Praha. Tempat yang berhasil 'meracuni' kaum intelektual itu bernama Cafe Laouvre. Jenis kafe klasik Perancis tersebut merupakan salah satu tempat favorit bagi Albert Eistein, Franz Kafta, Karel Capek, dan para filsuf eksistensialis lainnya.
Hal itu juga yang menginspirasi seorang pria paruh baya---terkaan saya---yang akrab disapa Indra membangun sebuah kafe. Berawal dari kegelisahan bersama beberapa temannya dalam memburu tempat ngopi yang dapat menampung mereka hingga dini hari. Tempat idaman untuk sekadar mengobrol semakin serius, keluh kesah menjadi rencana aksi dan organisasi.
Mimpi untuk diwujudkan
Kegelisahannya mencapai klimaks! Indra dan beberapa rekannya bertekad membuat dan memiliki tempat ngopi-nya sendiri. Beralamat di Jl. Cempaka Putih CT.X No.8, Karang Gayam, Caturtunggal, Sleman, DIY di atas lahan asri dalam satu kompleks media penerbit terkenal Media Pressindo, berdirilah Medpresso Coffe Garden.
Ia pun menyulap sebuah taman asri menjadi tempat yang asyik untuk berpolitis, ya politis. Karena tempat itu nantinya akan menjadi tempat untuk membagikan sebagian dari kehidupan kita kepada orang lain, yang tidak terbatas pada apa yang kita lakukan sebagai pemilih atau pembayar pajak---The Political.
Kemasan kekinian dengan tetap menghormati alam sekitar
Berdiri di atas lahan luas, tak lantas membuat para pendiri Medpresso gelap mata dan kalap merusak alam sekitar. Bukan lingkungan yang menyesuaikan bangunan, namun bangunan yang menyesuaikan lingkungan sekitar. Bangunan yang berada di Medpresso Coffe Garden tata letaknya menyesuaikan keadaan lingkungan sekitar. Pohon-pohon dibiarkan tumbuh sebagaimana mestinya mereka tumbuh dan berkembang. Tak ada satu pun pohon yang ditebang dengan alasan dan mengatas namakan kepentingan; perluasan bangunan.
Ada pepatah mengatakan: "kacang lupa kulitnya". Nampaknya, pepetah itu tak berlaku bagi Medpresso Coffe Garden. Berangkat dari sebuah media penerbit, kesadaran akan literasi menjadi hal vital bagi Medpresso Coffe Garden. Di dalam area indoor tersedia rak berisi kumpulan buku ber-genre variatif. Mulai dari sastra hingga novel populer. Tempat yang memiliki nama beken 'Pojok baca' tersebut sengaja disediakan oleh pihak kafe guna memanjakan para konsumen.
Tempatnya para pekerja keras
"... di sini bukan anak-anak malas