Pertama kali, janji suci akan ku ucapkan seraya menggenggam erat tangan penghulu---wali nikah---calon istriku kala itu. Deg-deg-an? Pasti! Secarik kertas berisikan rapalan janji suci yang akan ku ucapkan, ku rapalkan berkali-kali di dalam hati. Hafal? Tidak, sama sekali!
Alih-alih hari bahagia, namun raut wajahku tak bisa berbohong kala bertatap muka satu meja dengan wali nikah dan bapak calon istriku. Blank! Bagaikan layar hp gagal beroperasi di tengah jalan, begitulah kira-kira raut wajahku saat itu.
Namun, Tuhan Maha Asyik. Setelah kalimat limpahan tanggung jawab diucapkan oleh wali nikah, seketika mulutku merapalkan janji suci pertanda persetujuan menerima tanggung jawab yang diamanahkan kepadaku. "Sah!", seraya para saksi berucap.
Itulah detik di mana pertama kali hari bahagia kami dimulai.
Pertama kali kontraksi palsu
Maret 2017, kami menempati istana pemberian orang tua yang berada di wilayah kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta. Usia kehamilan istriku pun telah menginjak tri semester ke-3. Detik-detik menuju HPL semakin dekat.
19 Mei 2017 kami dihebohkan dengan ulah si calon bayi. Perut istriku mengalami kontraksi. Aku tahu hal itu dari keluhan yang ia ekspresikan lewat teriakannya. "Sakit!", begitu keluhnya sambil mengelus lembut perutnya dan meringkukkan badannya di atas kasur.
Aku pun dengan sigap menyambar ponsel pintar yang ada di dekat kasur dan mulai menghitung durasi kontraksi yang dirasakan istriku. Jarum jam terus berputar. Kontraksi yang dialami istriku semakin intens. Durasinya semakin panjang, dengan jeda waktu lebih pendek.
Pukul 1 dini hari, kami memutuskan untuk meluncur ke Rumah Sakit. Harapan kami pupus ketika mendengar kabar dari petugas bahwa kamar rawat inap dalam kondisi penuh. Istriku pun dirujuk ke rumah sakit lain.
Sesampainya di rumah sakit rujukan, tenaga medis dengan sigap menangani. Tak beberapa lama, istriku langsung dipindahkan ke ruang rawat inap. Kontraksi yang dialami istriku tidak menunjukkan progress yang berarti. Kami pun disarankan untuk pulang.
Pertama kali mendampingi persalinan
20 Mei 2017, waktu subuh. Istriku kembali mengeluhkan perutnya yang sakit. Keluhan disertai jeritan pun keluar dari mulutnya. Aku mulai panik dan bingung. Istriku memintaku untuk mengelus pinggangnya dan memijitnya ringan. Bukannya membaik, jeritannya semakin heboh.
Kami memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit terdekat. Pukul 09.00 WIB, kami tiba di rumah sakit. Petugas medis dengan sigap tanggap darurat menangani istriku di ruang UGD. Istriku telah mengalami pembukaan 5. Segera ia dipindah ke ruang bersalin. Sedangkan aku mengurus keperluan administrasi pendaftaran di ruang lain. Ya, hanya kami berdua.
Seusai urusan administrasi selesai, segera aku menuju ruang bersalin untuk mendampingi istriku berjuang. Berjuang antara hidup dan mati. "Pyok!", air ketubannya pecah. Selang beberapa waktu kemudian terlihat ada "sesuatu" muncul dari mulut vagina istriku. Rupanya putih-pucat, seperti zombie. Tak selang berapa lama, "zombie" itu berteriak seperti menangis. "Anakku!", aku tertegun di tengah nyanyian merdu pertamanya di dunia. Tepat 45 menit setelah istriku memasuki ruang persalinan.
Bidan pun segera membersihkan anakku, kemudian menyerahkannya ke dalam dekapan istriku untuk proses IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Ya, hal yang terpenting saat pertama kali bayi terlahir. Alhamdulillah, keduanya sehat dan selamat. Kini, aku memiliki dua bidadari yang menghiasi kehidupanku.
Pertama kali menggendong anak
Seusai IMD, bidan meminta ijin mengambil anak kami untuk selanjutnya "dirias". Aku pun mengawal anakku, berjalan di belakang bidan tersebut. Tahapan demi tahapan aku perhatikan dengan seksama. Bidadari kecil itu bertubuh mungil, beratnya 2500 gram dan panjangnya 45 cm.
Selesai "dirias", bidan menyerahkan bidadari kecil dalam belitan kain jarik kepadaku. Awalnya aku takut. "Bagaimana cara menggendongnya mbak?", tanyaku penasaran kepada si bidan. "Begini caranya pak", jelas si bidan sambil mengarahkan tanganku menggendong bidadari kecil tersebut. Lafaz adzan dan iqomah untuk pertama kali aku kumandangkan di telinga kanan dan kirinya. Kemudian aku membawanya kepada istriku. Aku serahkan ia kepada ibunya.
Pertama kali menjadi orang penting
Para kolega dan tetangga silih bergantian bertamu di istana kecil kami. Sekadar memberikan ucapan selamat dan ingin melihat; "siapa putri cantik yang menjadi penghuni baru?". Seperti yang telah kami prediksi. Banyak saran diberikan kepada kami.
Saran yang mereka berikan, sebagian besar merupakan saran turun-temurun di keluarga mereka. Seperti halnya saran bahwa bayi harus dikenakan gurita, harus diselimuti dan tidak boleh menghidupkan kipas. Bagi saya itu semua mitos---karena mereka tak bisa menunjukkan dasar konkrit atas saran mereka.
American Academy of Pediatric menyarankan; sebaiknya membiarkan bayi tidur sendiri di tempat tidurnya---kasur polos---tanpa selimut, bantal, guling, boneka, dsb. Pada dasarnya, bayi itu tidak suka diselimuti dan hal tersebut mengakibatkan SIDS (Sudden Infant Death Syndrom) yaitu risiko kematian bayi mendadak. " dari populasi bayi di Amerika Serikat yang masih tidur dengan orang tuanya di satu tempat tidur atau tempat tidur dihiasi bantal, boneka dan pernak-pernik lainnya adalah kelompok bayi yang paling tinggi risiko SIDS", anjuran National Infant Sleep Position Study.
Bicara pertama kali
Waktu terasa berjalan cepat. Putri kecil kami sudah bisa berbicara. "ta ta ta ta", itulah kosakata pertama yang terucap dari mulut mungilnya. Baby talk, istilah keren cara bayi berkomunikasi. Alih-alih mengikuti cara bicara bayi, ternyata justru akan berdampak memperlambat tumbuh kembangnya dalam berkomunikasi.
Seperti artikel yang ditulis seorang kawan; Bahaya di Balik Bahasa Bayi. Baby talk ditiru oleh orang dewasa dan dilakukan hampir setiap saat berkomunikasi dengan bayi. Maklum, kebiasaan turun-temurun. Baby talk boleh dilakukan kepada bayi yang berusia 3-4 bulan saja. Selebihnya kita harus melafalkan kalimat dengan benar saat berkomunikasi dengan bayi. Penggunaan bahasa isyarat atau bahasa tubuh, ekspresi wajah dan intonasi yang variatif akan sangat membantu saat berkomunikasi dengan bayi.
Hal itu memang benar adanya, kami sudah mempraktikkannya. Putri kami saat berusia 1,5 tahun sudah mengerti jika sampah itu dibuang pada tempatnya. Bahkan ia segera mengambil kain lap saat ia tak sengaja menumpahkan minuman. Itu semua karena komunikasi yang baik, tentu saja dengan mempraktikkan dan mengajarkannya secara langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H