Nampaknya akhir tahun memiliki daya tarik tersendiri sebagai waktu diadakannya acara. Mulai dari acara kecil hingga acara besar selalu saja memadati jadwal di akhir tahun. Kebetulan saja, menurut saya.
November 2015 yang lalu, saat saya masih menyandang status sebagai mahasiswa. Rasa lelah nampaknya masih enggan untuk beranjak meninggalkan badan ini sepulang berlaga dalam ajang kompetisi mobil listrik nasional di Bandung. Rasa lelah terbayarkan dengan pencapaian kami.
Kebiasaan bermalam di kampus, tepatnya di bengkel pun masih berlangsung. Meskipun kompetisi sudah berakhir, bukan berarti harus berakhir pula berinovasi. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta adalah kampus di mana saya menimba ilmu dan berjuang demi selembar kertas bertuliskan "Ijazah". Kata orang tua saya, itu adalah "senjata" saya nantinya untuk melanjutkan hidup.
Bagaikan candu
Rasa nyaman adalah yang dicari setiap orang. Ketika orang sudah merasa nyaman, dia akan betah berada di situ. Itulah yang saya rasakan dalam berorganisasi. Berorganisasi telah saya lakukan sejak saya menyandang status sebagai anak. Organisasi yang saya ikuti kala itu adalah keluarga.
Semenjak SMP bisa dibilang itu adalah titik di mana saya mulai aktif berorganisasi. Mulai dari organisasi intra sekolah hingga organisasi di luar sekolah. Semenjak itu pula berorganisasi seolah menjadi candu bagi saya.
Pernah suatu saat saya vakum dari keorganisasian karena unas semasa SMK ada di depan mata. Ujian nasional bagaikan penentu hidup dan mati menurut pandangan orang tua saya. Jika lulus, maka bisa melanjutkan hidup. Jika tidak lulus, maka "mati"! Usaha mati-matian pun dilakukan untuk menghadapi kematian pula. Malah bisa jadi mati sebelum perang. Ujian nasional pun telah berlalu, yang berarti menganggur menjadi pekerjaan utama. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari diri saya, ketika diri ini tak disibukkan dengan kegiatan organisasi. Alhasil, saya kembali ke dalam dunia itu.
Hal itulah yang saya bawa hingga saya mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Lebih dari satu ormawa saya ikuti. Kegiatan ormawa pun berjalan beriringan dengan kewajiban saya sebagai pelajar di perguruan tinggi. Mau bagaimanapun, tetaplah harus ada salah satu yang dikorbankan. Mulai dari tidak mengikuti kelas dosen hingga mengetahui jadwal ujian keesokan paginya sebelum ujian.
Mengikuti lomba atau kompetisi pun juga menjadi candu bagi saya. Jika sudah sekali, dua kali mengikuti lomba atau kompetisi, besoknya pasti akan ketagihan. Ajang perlombaan ataupun kompetisi pun menjadi sasaran perburuan.
Terinspirasi dari Youtube
Ketika tidak ada pekerjaan mendera, berselancar di internet menjadi pilihan. Itulah yang terjadi disaat saya dan beberapa teman saya berada di bengkel dan tidak ada yang dikerjakan. Tiba-tiba salah satu teman saya menceletuk, mengajak saya untuk mengikuti ajang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diadakan oleh Dikti.
PKM adalah ajang bergengsi di kalangan Perguruan Tinggi di Indonesia. Ajang yang biasanya diadakan di akhir tahun tersebut "memperebutkan" dana hibah. Perealisasian program usulan akan dilaksanakan di tahun mendatang dengan menggunakan dana hibah.
Saya mengiyakan ajakkan tersebut. Kami pun mencari ide kreatif yang nantinya akan kami tuangkan ke dalam bentuk proposal usulan program yang akan kami ikutkan di PKM. Terbesit di pikiran saya sebuah kata, kincir angin. Segera saya masukan kata tersebut pada kolom pencarian di Youtube. Banyak sekali video unggahan mengenai kincir angin di Youtube. Hal itu dikarenakan salah satunya adalah banyaknya model kincir angin.
Pilihan saya jatuh pada kincir angin savonius. Kincir angin dengan sumbu vertikal. Alasan saya memilih kincir angin tersebut adalah ketika setelah saya menonton video pembuatan kincir angin berbahan baku dari drum bekas limbah industri. "Mereka saja bisa, saya juga pasti bisa", begitu gumam saya ketika akan membuat keputusan.
Melihat potensi sekitar
Pemilihan kincir angin untuk diangkat dalam program usulan PKM bukanlah tanpa alasan. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki garis pantai di sebelah selatan. Letak geografis tersebut menjadikan DIY memiliki potensi akan energi angin yang merupakan energi terbarukan. Kecepatan angin rata-rata di pantai selatan adalah 4 m/detik (LAPAN).
Menurut Daryanto Y., "Walaupun pemanfaatan energi angin dapat dilakukan di mana saja, daerah-daerah yang memiliki potensi energi angin yang tinggi tetap perlu diidentifikasi agar pemanfaatan energi angin ini lebih kompetitif dibandingkan dengan energi alternatif lainnya. Oleh karena itu studi potensi pemanfaatan energi angin ini sangat tepat dilakukan guna mengidentifikasi daerah-daerah berpotensi. Angin selama ini dipandang sebagai proses alam biasa yang kurang memiliki nilai ekonomis bagi kegiatan produktif masyarakat".
Di pantai selatan DIY sendiri sebenarnya sudah ada pusat riset penelitian dan pengembangan kincir angin yang merupakan hasil kerja sama beberapa pihak, tepatnya di pantai Baru. Kincir angin dengan berbagai model dan ukuran ada di situ. Kincir angin yang dikembangkan adalah kincir angin dengan sumbu horizontal.
Bergeser sedikit ke timur, maka akan bertemu dengan pantai yang memiliki mercusuar. Kemudian ke utara, maka akan sampai di Patihan, Gadingsari, Sanden, Bantul, DIY. Di desa tersebut mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai petani dan peternak. Di desa itu pula lah kami bertemu dengan kelompok peternak kambing Mendo Ngremboko. Pertemuan yang memberikan kami sebuah masalah yang harus kami pecahkan bersama.
Untuk pakanan hijau ternak, mereka menanam rumput gajah di lahan pasir. Irigasi yang menjadi permasalahan mereka. Dikarenakan dekat dengan laut, sumber air di sana bukanlah menjadi masalah utama. Di lahan tanam, mereka membuat sumur bor. Satu meter ke bawah dari permukaan tanah, sudah terlihat permukaan air. Untuk mengairi lahannya, mereka memakai mesin pompa air berbahan bakar minyak. Setiap kali akan mengairi lahan tersebut, mereka harus membawa mesin pompa air yang cukup berat dari rumah, belum lagi harus membeli bahan bakar.
Kincir angin penggerak pompa air kami pilih sebagai alternatif mesin pompa berbahan bakar minyak. Energi potensial yang dimiliki daerah tersebut dimanfaatkan sebagai penggerak kincir angin. Kincir angin mengkonversi energi potensial menjadi energi mekanik, menggerakan tuas pompa air untuk menaikkan air dari dalam tanah.
Segelintir cerita pengalaman saya ketika berstatus mahasiswa bukanlah maksud untuk jumawa. Percayalah bahwa diri kita, bangsa kita juga bisa dan mampu! Percaya diri adalah kunci, sama-sama bekerja adalah kendaraannya dan keberhasilan adalah tujuannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H