Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Makanan yang "Ndeso" Sarat dengan Filosofi dan Memori

1 Agustus 2017   08:14 Diperbarui: 1 Agustus 2017   19:26 2848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sego Golong siap disajikan langsung dari tangan peraciknya (dok.pri)

"Tak ada makanan seenak masakan rumah"

Saya tak memaksa semua setuju dengan ungkapan saya tersebut. Lidah penikmat rasa berbeda-beda. Ungkapan kalimat tersebut tak serta merta menjadi penyanjung koki di rumah maupun sekadar menyenangkan hatinya. Memang begitu adanya. Bagi saya, setiap rasa mempunyai kenangan, memiliki memori tersendiri.

Seperti saat saya berkesempatan mencicip menu milik salah satu tempat makan, ya sebut saja warung. Tempat makan berlabel Waroeng Pitoelas dengan angka 17 setia mendampingi tulisan tersebut. Nama adalah ungkapan sebuah doa. Pemilik warung, bu Sinta memberi nama warungnya dengan nama Pitoelas bukanlah tanpa sebab. Pitoelas sendiri memiliki 2 makna, yaitu Pitulungan (pertolongan) dan Welas Asih (belas kasih). Tersirat doa, semoga usaha warung miliknya mendapatkan pertolongan dan belas kasih Tuhan.

Suasana warung (dok.pri)
Suasana warung (dok.pri)
Warung yang terletak cukup jauh dari pusat Kota Yogyakarta, bahkan bisa dibilang hampir berada di perbatasan Yogyakarta-Klaten. Tepatnya di Kalitirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Letaknya yang berada di tengah area persawahaan ditambah masuk dalam area lalu lintas pesawat terbang yang lepas landas dari bandara Adisutjipto menambah asik dan syahdu. Terlebih makan bersama keluarga, anak-anak pasti akan lebih lahap menyantap makanannya sambil melihat pemandangan pesawat terbang lepas landas. 

Tak hanya sampai di situ saja, waroeng pitoelas juga terletak tak jauh dari lokasi wisata air, geo tubing lava bantal. Setelah puas bermain air dan perut mulai menagih asupan makanan, waroeng pitoelas bisa menjadi alternatif untuk mengisi ulang tenaga dan memanjakan perut dengan aneka asupan makanan khas pedesaan.

Yummy (dok.pri)
Yummy (dok.pri)
Sego golong, sego babon, sego ater-ater, lodeh gue, butho galak, cangkem butho, kopi butho, teh kali, banyu sendang. Begitulah tulisan beberapa menu yang terpampang jelas di papan nama warung ini. Sejenak saya mengkrenyitkan dahi dan berpikir seraya terheran, "makanan apa lagi ini??". Penamaan menu yang unik menjadi daya tarik tersendiri. Bagi yang tak familiar dengan bahasa Jawa pasti akan lebih terheran.

Lotis (dok.pri)
Lotis (dok.pri)
Sebelum menyantap makanan utama, saya memilih menyantap lotis. Aneka buah yang diiris dengan ukuran cukup besar yang bertemankan sambal dari gula merah/aren. Memakannya dengan cara mencolekkan si buah ke sambal yang terbuat dari gula merah/aren. Di beberapa tempat, terutama Yogyakarta dan Jawa Tengah, lotis lebih dikenal dengan rujak. Hanya bedanya ada di irisan buahnya dan cara menyantapnya. Lotis di sini disediakan secara cuma-cuma, alias free! Boleh tambah pula, hmm. 

Mengonsumsi buah-buahan sebelum memakan makanan utama itu menyehatkan, karena buah mengandung lebih banyak serat. Lotis disediakan secara gratis, mungkin untuk mendukung gaya hidup sehat. Oke juga ya? Lotis pun bisa disantap sambil memilih menu makanan dan minuman.

Sego Golong (dok.pri)
Sego Golong (dok.pri)
Tibalah saatnya menyantap menu utama. Sego golong, nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola tenis. Melambangkan kebulatan tekad yang manunggal. Selain nasih putih tadi, ada telur dadar goreng yang dibentuk segitiga. Rasanya tak diragukan, namun bentuknya cukup unik, dan nampaknya agak sulit membuatnya dan tak semua orang bisa, Anda bisa? Ada bakmi bihun rebus. Dan sayur santan kuah pedas yang berisi tempe dan kentang dipotong dadu, sayur ini lebih dikenal dengan sebutan jangan ndeso (sayur desa). Rasanya gurih, dan tentu saja lumayan pedas.

Sego Babon (dok.pri)
Sego Babon (dok.pri)
Sego babon, nasi putih dengan suwiran daging ayam, setengah butir telur, tahu putih, sayur kates pedas, taburan bubuk kedelai yang digiling dan guyuran kuah santan jangan ndeso. Dikemas dengan beralaskan daun pisang, dipincuk. Menambah syahdu saat menyantap makanan ini. Andai saja sayur kates pedasnya diserut kemudian diuleni, pasti akan lebih nikmat. 

Seperti masakan almarhum nenek dulu, ketika kami sekeluarga berlibur. Tak hanya rasa khas, menyantap makanan ini penuh dengan memori dan filosofi. Nenek moyang orang Jawa membuat segala sesuatu memang syarat dengan makna dan filosofi, bahkan di dalam makanan sekalipun. Soal rasa, saya tak banyak komentar. Saya hanya berkomentar, "Kenapa makanan ini endess??".

Aneka butho (dok.pri)
Aneka butho (dok.pri)
Ada makanan berat, lebih asik juga ada makanan ringan. Butho galak dan cangkem butho pun menjadi pilihan. Butho galak yang berarti raksasa galak adalah sebutan lain untuk tahu susur. Tahu putih yang berisikan aneka sayuran kemudian dimasukan ke dalam adonan tepung terigu untuk selanjutnya digoreng. 

Sebutan butho galak sendiri adalah sebutan lokal bagi si tahu susur. Cemilan tersebut adalah cemilan kegemaran ibu Sinta sang pemilik warung saat berlibur ke rumah neneknya di Piyungan, Bantul. Sekilas, tampilannya biasa saja, seperti tahu susur pada umumnya. Namun setelah digigit dan tercecap oleh lidah, 'kegalakan'nya pun keluar. Rasa pedas tertinggal diujung lidah, mulut pun terasa cukup panas karena 'kegalak'annya.

Butho galak sudah tunduk di dalam perut, berikutnya cangkem butho akan beradaban dengan cangkem yang sesungguhnya. Cangkem butho, yang berarti mulut raksasa. Gembus (ampas tahu) yang dibelah diisi dengan sayuran kemudian dimasukan ke dalam adonan tepung terigu, lalu melompat ke dalam kolam minyak goreng panas. 

Diberi nama cangkem butho karena ukurannya cukup besar, sehingga saat menyantapnya bak raksasa sedang membuka mulut lebar-lebar melahap santapannya. Rasa pedas pun tak lupa tertinggal. Namun saat saya memakannya, gembus sebagai bahan utama cangkem butho tampaknya bukan gembus, melainkan tempe. Karena teksturnya yang cukup keras, tidak lembut seperti tekstur gembus pada umumnya.

Sego Golong siap disajikan langsung dari tangan peraciknya (dok.pri)
Sego Golong siap disajikan langsung dari tangan peraciknya (dok.pri)
Terakhir, teh kali menjadi penutup sempurna makan sore saya kala itu. Perut rasanya sudah cukup puas dengan makanan tadi, meskipun di warung ini kalau ingin 'tambah' itu gratis, alias tak perlu juga menambah mengeluarkan biaya. Warung yang buka pukul 10.00 -- 00.00 WIB setiap harinya ini ternyata memiliki harga seperti namanya. 

Pitoelas, dengan harga Rp 17.000,00 saya bisa menyantap makanan dan minuman sampai 'puas'! Tapi tidak boleh dibawa pulang, harus makan ditempat. Tapi kalau saya tak sanggup jika harus tambah, karena dengan berbagai menu tersebut dengan harga Rp 17.000,00 saya sudah merasa kenyang. Saya pun memilih menikmati nuansa senja kala itu dengan perut kenyang.

Salam ngunyah,

Dimas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun