"Tak ada makanan seenak masakan rumah"
Saya tak memaksa semua setuju dengan ungkapan saya tersebut. Lidah penikmat rasa berbeda-beda. Ungkapan kalimat tersebut tak serta merta menjadi penyanjung koki di rumah maupun sekadar menyenangkan hatinya. Memang begitu adanya. Bagi saya, setiap rasa mempunyai kenangan, memiliki memori tersendiri.
Seperti saat saya berkesempatan mencicip menu milik salah satu tempat makan, ya sebut saja warung. Tempat makan berlabel Waroeng Pitoelas dengan angka 17 setia mendampingi tulisan tersebut. Nama adalah ungkapan sebuah doa. Pemilik warung, bu Sinta memberi nama warungnya dengan nama Pitoelas bukanlah tanpa sebab. Pitoelas sendiri memiliki 2 makna, yaitu Pitulungan (pertolongan) dan Welas Asih (belas kasih). Tersirat doa, semoga usaha warung miliknya mendapatkan pertolongan dan belas kasih Tuhan.
Tak hanya sampai di situ saja, waroeng pitoelas juga terletak tak jauh dari lokasi wisata air, geo tubing lava bantal. Setelah puas bermain air dan perut mulai menagih asupan makanan, waroeng pitoelas bisa menjadi alternatif untuk mengisi ulang tenaga dan memanjakan perut dengan aneka asupan makanan khas pedesaan.
Mengonsumsi buah-buahan sebelum memakan makanan utama itu menyehatkan, karena buah mengandung lebih banyak serat. Lotis disediakan secara gratis, mungkin untuk mendukung gaya hidup sehat. Oke juga ya? Lotis pun bisa disantap sambil memilih menu makanan dan minuman.
Seperti masakan almarhum nenek dulu, ketika kami sekeluarga berlibur. Tak hanya rasa khas, menyantap makanan ini penuh dengan memori dan filosofi. Nenek moyang orang Jawa membuat segala sesuatu memang syarat dengan makna dan filosofi, bahkan di dalam makanan sekalipun. Soal rasa, saya tak banyak komentar. Saya hanya berkomentar, "Kenapa makanan ini endess??".
Sebutan butho galak sendiri adalah sebutan lokal bagi si tahu susur. Cemilan tersebut adalah cemilan kegemaran ibu Sinta sang pemilik warung saat berlibur ke rumah neneknya di Piyungan, Bantul. Sekilas, tampilannya biasa saja, seperti tahu susur pada umumnya. Namun setelah digigit dan tercecap oleh lidah, 'kegalakan'nya pun keluar. Rasa pedas tertinggal diujung lidah, mulut pun terasa cukup panas karena 'kegalak'annya.
Butho galak sudah tunduk di dalam perut, berikutnya cangkem butho akan beradaban dengan cangkem yang sesungguhnya. Cangkem butho, yang berarti mulut raksasa. Gembus (ampas tahu) yang dibelah diisi dengan sayuran kemudian dimasukan ke dalam adonan tepung terigu, lalu melompat ke dalam kolam minyak goreng panas.Â
Diberi nama cangkem butho karena ukurannya cukup besar, sehingga saat menyantapnya bak raksasa sedang membuka mulut lebar-lebar melahap santapannya. Rasa pedas pun tak lupa tertinggal. Namun saat saya memakannya, gembus sebagai bahan utama cangkem butho tampaknya bukan gembus, melainkan tempe. Karena teksturnya yang cukup keras, tidak lembut seperti tekstur gembus pada umumnya.
Pitoelas, dengan harga Rp 17.000,00 saya bisa menyantap makanan dan minuman sampai 'puas'! Tapi tidak boleh dibawa pulang, harus makan ditempat. Tapi kalau saya tak sanggup jika harus tambah, karena dengan berbagai menu tersebut dengan harga Rp 17.000,00 saya sudah merasa kenyang. Saya pun memilih menikmati nuansa senja kala itu dengan perut kenyang.
Salam ngunyah,
Dimas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H