Pekan ini bisa disebut sebagai pekan yang menggembirakan bagi seluruh masyarakat sepakbola Indonesia. Mengapa? Seperti yang sudah banyak diberitakan, salah satu olahraga terpopuler di tanah air, sepakbola, memperoleh kemerdekaannya kembali setelah berada di titik nadirnya lebih dari setahun terakhir.
Kita masih ingat ketika 17 April 2015 lalu, Kemenpora mengeluarkan SK pembekuan PSSI selaku induk organisasi sepakbola nasional. FIFA kemudian menilai apa yang terjadi di Indonesia merupakan bentuk intervensi dari pihak ketiga, dalam hal ini adalah pemerintah melalui Kemenpora. Lantas, FIFA pun menjatuhkan sanksi pembekuan juga terhadap Indonesia, sehingga hak untuk bertanding di level internasional sudah pasti hilang.
Lebih dari setahun berselang, tepatnya 10 Mei 2016, Menpora mencabut SK pembekuan terhadap PSSI. Sepakbola Indonesia bisa kembali merdeka. Selang dua hari kemudian, FIFA mengakui kedaulatan PSSI dengan mencabut hukuman pembekuan terhadap Indonesia. Benar-benar pekan yang menggembirakan bukan?
Makna menggembirakan jelas sangat dirasakan oleh para pemain, pengurus klub, hingga suporter pasca dicabutnya SK pembekuan PSSI.
Sudah lebih dari setahun sebagian pesepakbola tanah air menganggur dan terpaksa kerja sambilan. Sudah lebih dari setahun kegiatan operasional sebagian besar klub Indonesia terbengkalai. Sudah lebih dari setahun ribuan suporter di bumi pertiwi kehilangan hak menonton klub kesayangannya.
Semua terjadi akibat dampak terbesar dari pembekuan PSSI, yakni terhentinya kompetisi reguler yang sejatinya berjalan rutin tiap musim. Memang, ada beberapa turnamen berskala nasional yang digelar sebagai pengganti kompetisi reguler. Namun, hal itu seakan hanyalah obat penenang di tengah konflik sepakbola nasional. Masih banyak pelaku sepakbola Indonesia yang tidak merasakan dampak serta manfaat turnamen tersebut.
Maka, berbahagialah mereka. Sepakbola Indonesia telah merdeka dan bebas, meski masih banyak catatan serta tantangan berat menanti di hadapan.
Lalu, apakah PSSI dan Kemenpora turut bergembira di pekan ini?
Mereka pun tentu layak bergembira. Wajarlah, dua kubu—PSSI dan Kemenpora—ini sudah sekian lama bertentangan. Keduanya merupakan dalang di balik perang sipil di bidang sepakbola dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir. Ketika mereka bersatu, siapa coba yang tak senang?
Nah, apakah kegembiran bagi sepakbola Indonesia akan terus bertahan?
Tergantung. Pencabutan hukuman dari Kemenpora dan FIFA yang ditujukan pada PSSI sudah sepatutnya disyukuri. Namun, ini semua baru sekadar momentum saja. Pada dasarnya masalah dalam dunia sepakbola tanah air masih banyak. Reformasi sepakbola Indonesia harus dilakukan.