Dunia pendidikan saat ini menjadi sorotan. Belum selesai kontroversi full day school, kasus pemukulan terhadap guru tiba-tiba mencuat. Kali ini seorang guru SMK di Kota Makassar dipukul orang tua siswa. Penyebabnya seorang pelajar SMK tidak terima dikeluarkan dari kelas, dan karena siswa itu tidak bermental kemudian dia melapor kepada ayahnya. Lantas orang tua siswa tersebut mendatangi guru dan terjadilah pertumpahan darah. Padahal jika ditelaah lebih jauh lagi siswa itu juga salah karena tidak mengerjakan tugas.
Beberapa waktu yang lalu kasus yang hampir sama juga terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Samhudi mencubit siswanya karena tidak melaksanakan sholat dhuha yang telah menjadi program sekolah. Lagi-lagi murid itu juga tak bermental, dia melaporkan gurunya ke ayahnya kemudian ayahnya melaporkan guru itu ke polisi. Masalahpun berlanjut ke meja hijau.
Dua cerita diatas tentu membuat kita bertanya-tanya kenapa bisa terjadi seperti demikian. Kenapa ada orang tua yang berpikiran pendek seperti itu. Apakah orang tua itu sebelumnya tidak meminta penjelasan kepada anaknya. Apakah orang tua itu terlalu memanjakan anaknya. Atau masih ada kemungkinan yang lain?
Sebenarnya sederhana, kasus di Makassar siswa tersebut salah. Kenapa tidak mengerjakan tugas. Bukankah hukumnya wajib tugas itu dikerjakan. Kemudian siswa di Sidoarjo, apa salahnya ikuti aturan dan melaksanakan sholat. Bukankah mengerjakan sholat itu berpahala dan juga demi kebaikan siswa itu.
Jika diperhatikan dari kedua kasus tersebut masalah utamannya adalah ketidakpatuhan seorang peserta didik terhadap gurunya. Guru menurut pepatah jawa adalah sosok yang 'digugu lan ditiru'. Artinya seorang peserta didik harus mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya dan bisa meneladani sifat-sifat dari seorang guru.
Pertanyaannya kemudian kenapa banyak peserta didik mempunyai sikap seperti kedua pelajar pada kasus diatas, yaitu kurang patuh kepada guru?
Pendapat saya, akar permasalahannya sangatlah simpel. Pada masa awal sekolah, yaitu kelas 1 untuk SD, kelas 7 untuk SMP, dan kelas 12 untuk SMA para peserta didik kurang ditanamkan nilai-nilai pendidikan karakter. Umumnya para peserta belum mengetahui makna pendidikan dan apa tujuan mereka bersekolah. Mengutip kata-kata Mahatma Gandi, 'pendidikan tanpa karakter akan terasa percuma'. Kalau boleh saya mengatakan percuma kita pintar tapi tidak memiliki sikap etika dan karakter yang baik. Gambaran umum pendidikan di Indonesia adalah kurangnya pendidikan karakter.
Kecenderungan negara kita saat ini adalah mengupayakan sistem pendidikan yang baik. Menteri pendidikan sudah ganti berkali-kali. Banyak kurikulum sudah dicoba. Program perbaikan kualitas tenaga pendidik sudah banyak dilakukan. Hasilnya? Peringkat Indonesia masih jauh dari harapan. Bahkan masih berada di bawah Malaysia yang katanya dulu mereka berguru kepada kita.
Alangkah lebih baik jika fokus kita saat ini adalah membentuk karakter peserta didik. Kembalikan sosok guru sebagai orang yang 'digugu lan ditiru'. Dengan demikian para peserta didik akan mempunya kepatuhan, respect, dan loyal kepada guru. Sehingga para guru dapat dengan mudah mengisi para peserta didik dengan materi-materi pelajaran. Pembentukan karakter pun juga akan mudah karena para peserta didik dasarnya sudah diatur. Ketika awal masuk sekolah pada masing-masing jenjang pendidikan harus ditanamkan untuk apa mereka sekolah.
Mungkin pembaca berpendapat tidak semua peserta didik akan nurut. Memang benar, yang namanya resistensi itu pasti ada. Dan resistensi itu akan menimbulkan konflik dalam kelas. Disini dituntut peran sosok guru sebagai yang 'digugu lan ditiru'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H