Mohon tunggu...
Dimas Aji Putupraja
Dimas Aji Putupraja Mohon Tunggu... Administrasi - Jangan berhenti belajar

ASN Pemerintah Kabupaten Pacitan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menengok Potret Dunia Pendidikan Melalui Sinetron

12 Agustus 2016   22:05 Diperbarui: 12 Agustus 2016   22:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita semua sepakat bahwa aspek penentu majunya sebuah negara salah satunya dapat dilihat melalui dunia pendidikan negara tersebut. Jika berbicara tentang dunia pendidikan tentunya tidak jauh-jauh dari sekolah, peserta didik, guru, kurikulum, dan konsep pendidikan itu sendiri. Urusan pendidikan di Indonesia berada dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mana lembaga tersebut saat ini dipimpin oleh Bapak Muhadjir Effendy yang baru saja dilantik menggantikan Bapak Anies Baswedan.

Akhir-akhir ini kita akan 'ngelus dada' jika berbicara tentang pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak, pemberitaan media saat ini lebih banyak menyajikan catatan buruk dunia pendidikan daripada cerita tentang pelajar Indonesia yang menjadi juara di berbagai perlombaan. Catatan buruk itu antara lain adanya oknum pelajar yang melaporkan gurunya kepada orang tuanya katena pelajar tersebut merasa tidak terima atas tindakan gurunya. Ada dua kejadian serupa baru-baru ini dan keduanya berujung pada ranah hukum. Yaitu kejadian yang dialami Bapak Samhudi di Sidoarjo, dan seorang guru SMK di Makassar.

Adanya dua kejadian itu menurut saya penyebabnya adalah mental pelajar itu sendiri. Padahal jelas pelajar tersebut juga salah, yang satu tidak melaksanakan sholat dhuha sebagai program sekolah dan satunya lagi tidak mengerjakan tugas. Jika kita terus mencari siapa yang salah dan siapa yang benar tentu tidak akan ada akhirnya. Karena masing-masing pihak punya pembenaran untuk membela dirinya. 

Yang lalu biarlah berlalu. Yang terpenting saat ini adalah kita harus mencari tahu apa penyebab pelajar mempunyai mental seperti kasus diatas. Kita juga harus mencari tahu mengapa pelajar saat ini cenderung menjadi anak yang manja. Jujur saya membuat tulisan ini karena baru saja saya menyimak sinetron di sebuah stasiun televisi yang kebetulan saat itu setting tempat dan waktunya menunjukkan kegiatan pelajar di sekolah. Ceritanya tidak jauh-jauh dari kisah asrama seorang remaja. Kemudian alur cerita lainnya menunjukkan sekelompok pelajar yang sedang menyusun rencana jahat untuk merugikan salah satu pihak dalam cerita itu.

Kebetulan di dekat rumah saya ada sebuah SD dan SMP. Saya juga sering mengamati keseharian mereka mirip dengan adegan sinetron itu. Saya juga sering mengamati anak SMA yang sudah mengenal galau karena pacarnya selingkuh. Saya juga sering membaca status facebook dan curhatan media sosial anak SMP dan SMA yang menceritakan kisah kasih mereka. Bahkan banyak pelajar yang datang ke sekolah kemudian ber selfie ria dan di upload di medsos dengan caption yang tak jauh-jauh dari nada romansa cinta remaja.

Tentu hal demikian dipengaruhi oleh lingkungan mereka. Apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan akan mereka tiru dan terapkan dalam kehidupan mereka. Peran media lah yang menentukan semuanya. Terlebih generasi saat ini adalah generasi yang tidak jauh-jauh dari gadget.

Kita juga tidak bisa menyalahkan perkembangan teknologi, dan kita juga tidak bisa menyalahkan pihak televisi karena tidak ada regulasi yang melarang untuk menayangkan adegan sinetron seperti yang saya paparkan diatas. Mereka juga sudah membuat penggolongan jenis acara dan usia berapa yang menonton acara tersebut. Lantas siapa yang disalahkan?

Seperti yang saya katakan diatas kita tidak bisa mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang harus dilakukan adalah adanya sinergitas dari semua pihak untuk mempunyai itikad memperbaiki mental pelajar dan dunia pendidikan Indonesia. Harus dibuat regulasi bahwa stasiun televisi harus menyajikan tontonan yang bisa menjadi tuntunan. Dengan demikian pelajar dapat meneladani sikap-sikap pada tokoh yang mereka tonton pada acara televisi. 

Orang tua dan guru harus memahami peran tugasnya masing-masing. Jika sudah berada di sekolah orang tua harus menyerahkan sepenuhnya anaknya kepada guru dan memberikan pemahaman bahwa guru adalah pengganti orang tua di sekolah. 

Guru di sekolah juga harus bisa mengambil hati para peajar dan mengutamakan pendidikan budi pekerti yang berkarakter. Pada masa awal sekolah harus ditanamkan hal-hal yang penting dan mendasar terkait pembentukan karakter. Misalnya, dimana ketika SD kelas 1 sudah ditanamkan pentingnya belajar. 

Ketika sudah masuk SMP para siswa yang baru kelas 7 harus ditanamkan bahwa merokok itu sangat merugikan, membolos itu perbuatan yang tidak baik. Ketika siswa masuk kelas 12 penting sekali ditanamkan bahaya narkoba, bahaya seks bebas, bahaya tawuran pelajar dan hal-hal mendasar lainnya yang berkaitan dengan karakter bangsa.

Kita semua berharap dunia pendidikan di Indonesia benar-benar melahirkan generasi cerdas sesuai dengan visi Indonesia emas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun