Mohon tunggu...
Dimas Agus Hairani
Dimas Agus Hairani Mohon Tunggu... Administrasi - Man Jadda Wajada

S1 Manajemen Unesa | S2 Sains Manajemen Unair | Part of LPDP_RI PK 163

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Piagam Madinah

21 Januari 2018   21:04 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:38 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Piagam Madinah, salah satu hasil konkrit bahwa Islam menyeru pada persatuan umat. Bagaimana tidak, karena yang mempelopori Piagam Madinah ini adalah Nabi Muhammad, utusan Allah, pembawa risalah agama Islam. Produk ini lahir tentunya atas pemikiran Nabi Muhammad yang sangat luas. Sebagaimana yang dikatakan H.O.S Tjokroaminoto “sungguh-sungguh menakjubkan kebesaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang sangat luas pikirannya dan terang pandangannya, yang berdiri atas petunjuk Allah dan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepadanya”. Seperti yang digambarkan oleh Bapak Zainal Abidin Ahmad yang meneliti Piagam Madinah mulai dari teks aslinya hingga terjemahannya (Buku beliau: Piagam Madinah, Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia, 2014-terbitan pertama 1973). Beliau menjelaskan bahwa Piagam Madinah ini hadir kurang lebih 14 abad yang lalu, bahkan mendahului Magna Charta dari Inggris pada tahun 1215, mendahului Konstitusi Amerika pada tahun 1787, dan mendahului Konstitusi Perancis 1795. Ialah Piagam Madinah, aturan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi seluruh ummah baru di Yastrib kala itu. Tercetus sekitar kurang lebih tahun 622, mendahului konstitusi tertulis lain hampir 6 abad lamanya. Negara itu kemudian dinamakan sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan dan Wakil Ketua Mahkamah Internasional (1973) dengan sebutan “Republik Madinah”.

Sedikit berbicara tentang sejarah, apabila dikatakan Konstitusi Athena atau Constitution of Athena adalah konstitusi pertama yang merupakan hasil karya filosof Yunani Aristoteles, maka ini bukanlah konstitusi kenegaraan yang sebenarnya, karena konstitusi kenegaraan yang dimaksudkan adalah hasil persetujuan bersama suatu masyarakat (hal. xii). Piagam Madinah ini tergolong maju dan lengkap untuk standar undang-undang “kuno”. Memiliki 47 pasal yang terbagi atas 10 bab dan mukadimah. Pasal-pasalnya menjamin hak-hak asasi warga; mengokohkan persatuan dan kesatuan; memperlakukan golongan minoritas dengan adil; membagi tugas pemimpin, pejabat, dan rakyat; mengatur sistem pertahanan negara; menggariskan kepemimpinan eksekutif, legislatif, serta yudikatif; dan mengarahkan haluan negara serta politik luar negerinya.

Dari sejarah inilah sudah jelas, jika Islam pasti mengatur keseluruhan aktivitas kita, mulai aktivitas yang sifatnya individu hingga masyarakat, dari yang sifatnya ritual hingga sosial. Maka salah satu produk Islam yang dapat kita ambil hikmahnya untuk mengatur dalam urusan umat adalah Piagam Madinah, produk Al Quran dan As Sunnah. Maka benarlah ketika Allah mengatakan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maa’idah (5): ayat 3).

Pelajaran paling penting dari Piagam Madinah ini adalah kebijaksanaan Nabi Muhammad untuk membuat suatu aturan untuk mengatur tata kehidupan di Madinah kala itu. Ketika umat Islam berdampingan dengan pemeluk agama lain, dibutuhkan suatu kebijaksanaan agar kehidupan bermasyarakat tetap berjalan dengan tertib. Nabi Muhammad tampil sebagai suri teladan kita, mencetuskan Piagam Madinah yang menjadi persetujuan seluruh kelompok, seluruh agama, seluruh suku di Madinah kala itu. Al Quran dan As Sunnah yang tetap menjadi dasar bagi umat Islam menjalankan aktivitasnya, beriringan dengan mesra bersama Piagam Madinah yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada egoisme kelompok, maupun golongan untuk menjadikan dasaran berbangsa, namun persetujuan bersama, itulah yang dikatakan sebagai Darul ‘Ahdi atau Negara Kesepakatan.

Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita bangga karena sejarah membuktikan bahwa pelajaran berkonstitusi ternyata dicontohkan tidak lain oleh Nabi kita Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kita yang saat ini tinggal di Indonesia seharusnya mencontoh sikap penuh kebijaksanaan beliau, dan hal ini telah diaplikasikan oleh para beliau-beliau pendiri bangsa kita, yang juga beberapa dari ulama. Maka sudah seharusnya kita buang egoisme kelompok, negara telah final dengan kesepakatan Pancasila sebagai pedoman dalam kita berkehidupan berbangsa dan bernegara, dan tetap beriringan dengan mesra bersama Al Quran dan As Sunnah yang menjadi landasan kita sebagai umat Islam dalam menjalankan aktivitas kita. Saat ini problema yang perlu diselesaikan adalah bagaimana turut serta membangun negara kita.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Hatta yang dikutip oleh Bapak Ahmad Syafii Maarif dalam buku beliau Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2015:291-292;dikutip dari buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara,2017:XI). Bung Hatta mengatakan “jika orang ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia, pakailah ilmu garam bukan ilmu gincu. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam cita rasa makanan sangat menentukan. Sebaliknya gincu yang dipakai kaum perempuan, terbelalak merah tetapi tuna rasa.” Dengan belajar dari Piagam Madinah, Nabi Muhammad menampilkan kesan ternyata umat Muslim adalah umat yang amat bijaksana, membuat suatu aturan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, di samping Al Quran dan As Sunnah tetap menjadi pedoman mereka.

Nilai-nilai ajaran Islam yang tidak hanya mengatur dalam urusan ritual, namun juga mengatur urusan sosial, bahkan tingkat kenegaraan patutlah kita aplikasikan. Nilai-nilai yang terkandung sarat akan kebaikan yang ditunjukkan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Problematika mulai dari tingkat kemiskinan yang sekarang menjadi 27,77 juta jiwa (liputan6.com, 2017). Tingkat korupsi di Indonesia yang menduduki peringkat ke tiga di negara ASEAN (nasional.tempo.co, 2017). Hingga tingkat pendidikan di Indonesia yang menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 Indonesia berada pada urutan 124 dari 187 negara (beritasatu.com, 2013). Probelematika itulah yang perlu kita perbaiki, dengan menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan kita. Bagi pelajar, bagi pejabat, bagi karyawan, bagi usawahan, tidaklah luput semua aktivitas kita dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam, kembali lagi kepada kita maukah untuk mempelajari dan mengaplikasikan, serta lebih-lebih mencontohkan kepada orang lain. Maka demikianlah konsep rahmatan lil ‘alamin agama Islam ini akan terwujud, nilai-nilainya masuk dalam setiap aktivitas kita. Salah satu tujuannya adalah terwujudnya masyarakat yang adil. Begitulah yang pernah disampaikan oleh budayawan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam salah satu majelis maiyahannya. Pancasila adalah suatu kesatuan yang menciptakan hubungan sebab akibat mulai dari sila pertama hingga sila kelima, sehingga disimpulkan sila kelima adalah output dari Pancasila, yaitu agar terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, mungkin ada benarnya apa yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Syafii Maarif, bahwa sila kelima ini nyaris absen dalam kehidupan kebangsaan kita. Padahal keadilan adalah persoalan serius yang terus menggelayut dalam kehidupan bangsa kita. Dan keadilan ini bukankah telah Allah perintahkan pula kepada kita, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. An Nahl (16): ayat 90). Maka sudah seharusnya sebagai umat Muslim kita tanamkan nilai-nilai ajaran Islam untuk membangun negara kita.

Janganlah kita terpecah belah hanya persoalan perbedaan pendapat dalam beragama. Bukankah telah para ulama contohkan betapa bijaksananya beliau dalam menyikapi berbedaan pendapat. Khalifah Harun ar-Rasyid pernah bermusyawarah dengan Imam Malik, beliau ingin menjadikan kitab al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) di Ka’bah, beliau ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai kitab itu. Lalu Imam Malik berkata, “Jangan lakukan! Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka juga telah menyebar ke seluruh negeri, semua benar dalam ijtihadnya”. Khalifah Harun ar-Rasyid pun memuji beliau kerena kebijaksanaannya (lihat kitab Imam Abu Nu’aim al-Ashbahanani, Hulyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Juz. VI, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, hal.332; dikutip dari buku 37 Masalah Populer,2017:31). Mari kita contoh beliau-beliau yang menghindari perbedaan pendapat dalam rangka egoisme pendapat suatu golongan. Perbadaan persoalan yang khilafiyah (perbedaan pendapat ulama) marilah kita jadikan sebagai penambah khazanah wawasan agama Islam kita, namun tidak menjadikan kita saling mengunggulkan golongan tertentu, lebih-lebih hingga membid’ahkan golongan lain, na’udzubillah. Marilah kita sama-sama membangun negara kita ini, dengan semangat menanamkan nilai-nilai kandungan ajaran agama Islam dalam aktivitas sehari-sehari, karena mencintai negeri adalah perintah ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun