Kemenangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu pada perebutan medali emas Olimpiade Tokyo 2020 menyelamatkan wajah Indonesia di pentas olahraga akbar empat tahunan itu.Â
Prestasi ini mencatatkan rekor tersendiri bagi dua pasangan ini terlebih sejak dipertandingkan di Olimpiade 1992, sektor ganda putri belum pernah menyumbangkan medali. Tentu, sekali lagi, prestasi ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan Brazilnya bulutangkis.
Era 1990-an, atlet bulutangkis kita seringkali mencapai posisi tertinggi dipodium juara. Thomas Cup dan Uber Cup pun turut dibawa pulang oleh atlet jagoan kita. Pada masa itu, kita memiliki belasan atlet andal yang seringkali wira-wiri menggapai podium juara. Atlet-atlet itu tidak hanya satu-dua-tiga pelapis saja tetapi lebih dari lima pelapis utama.Â
Dekade tahun itu, kita menyebutnya sebagai golden age bulutangkis Indonesia. Pemain sekaliber Susy Susanti, Alan Budikusuma, Sarwendah Kusumawardhani, Ardy B. Wiranata, dan lain-lain merupakan jebolan angkatan emas itu. Prestasi dasawarsa itu sangat sulit tertandingi sampai detik ini.
Bayangkan saja, dua emas Olimpiade Barcelona 1992 pun sampai detik ini kita belum pernah menyamai prestasi membanggakan itu. Apalagi sektor tunggal putra pada masa itu pun menjadi andalan kehebatan bulutangkis kita. Sayang seribu sayang, prestasi itu tak dapat kita pertahankan menginjak akhir dekade emas itu.Â
Kepergian Tong Sin Fu sebagai pelatih tunggal putra yang menginspirasi para atlet menyebabkan prestasi bulutangkis mandeg bahkan cenderung terjun bebas. Permasalahan SKBRI dan permohonan kewarganegaraan pun turut andil menjadi penyebab merosotnya prestasi bulutangkis kita. Dampaknya kita rasakan sendiri, bulutangkis kita  dianggap remeh oleh negara lain.
Kepindahan berbondong-bondong para atlet jagoan kita membela negara lain juga menjadi kado buruk bagi perkembangan bulutangkis pada akhir era emas itu. Tony Gunawan, Halim Haryanto, dan Mia Audina yang lebih memilih negara lain sebagai tumpuannya turut andil merosotnya prestasi bulutangkis kita.Â
Tak hanya itu saja, pensiun dini para atlet selepas Piala Thomas dan Piala Uber 1998 adalah jawaban paling menyakitkan. Mereka terpaksa pensiun dini karena mereka menganggap prestasi mereka sudah mentok sampai disana. Akibatnya, prestasi bulutangkis kita semakin tahun semakin menurun.
Kurangnya regenerasi besar-besaran pemain muda menjadi penyumbang utama merosotnya prestasi bulutangkis kita. Pemain senior masih tetap diandalkan tetapi pemain junior justru tak ditampilkan. Hal inilah yang menjadi kisah buruk perbulutangkisan kita pada akhir era emas itu.Â
Jika ditelaah maka kita sudah rugi banyak waktu dan tenaga, memang kita masih memiliki Taufik Hidayat dan Sony Dwi Kuncoro, saat itu, tetapi tak diimbangi dengan pemain pelapis lainnya.Â