Mohon tunggu...
Dimas Adiputra
Dimas Adiputra Mohon Tunggu... Buruh - Seorang karyawan swasta biasa

Olahraga, Politik, Kebijakan, dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kegagalan Strategi Politik Partai Demokrat

17 Mei 2014   07:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konvensi calon presiden Partai Demokrat akhirnya memasuki babak akhir. Setelah berjalan selama setahun, Dahlan Iskan ditetapkan sebagai pemenang setelah unggul elektabilitas dibandingkan peserta yang lain.

Berdasarkan tujuan penyelenggaraan konvensi, pemenang berhak dicalonkan Partai Demokrat untuk bersaing dalam bursa capres 2014. Sayangnya meskipun konvensi sudah memunculkan nama pemenang, Dahlan tidak serta merta dapat maju sebagai capres Partai Demokrat. Bahkan sebelum pengumuman hasil konvensi, sudah muncul suara-suara pesimis jika pemenang konvensi tidak akan memperoleh apa-apa.

Dalam konferensi persnya, Partai Demokrat menyebutkan dua hal yang menyulitkan mereka untuk mengajukan calon presiden. Pertama perolehan suara partai yang anjlok dibandingkan pemilu sebelumnya membuat Demokrat tidak bisa secara independen menentukkan capres. Kedua, elektabilitas peserta konvensi masih dibawah capres yang diusung partai lain.

Sebenarnya kegalauan Demokrat atas dua hal tersebut merupakan buah dari strategi politik partai sendiri. Demokrat terlalu lamban dalam membuat keputusan politik. Saat partai lain sudah mendeklarasikan bakal capresnya, Demokrat justru masih membuka persaingan bakal capres dalam konvensi. Alhasil ketika bakal capres partai lain dijadikan alat untuk menjaring suara partai, Demokrat justru tersandera dengan banyaknya bakal capres yang dimiliki.

Demokrat sejujurnya paham betul jika sebagian suara dalam pemilu legislatif ditentukan oleh figur capres yang dimiliki masing-masing partai. Demokrat sudah membuktikannya lima tahun yang lalu, bermodalkan elektabilitas seorang SBY, mereka mampu menjadi pemenang pileg 2009. Setelah SBY dipastikan tidak dapat maju kembali sebagai capres, wajar jika Demokrat mencari figur lain yang dianggap memiliki elektabilitas yang dapat mendongkrak suara partai.

Keberadaan 11 calon capres menurut Demokrat merupakan strategi jitu untuk menjaring suara rakyat. Masing-masing peserta konvensi tentu memiliki basis pendukung tersendiri. Jika hasil konvensi diumumkan sebelum pileg, maka Demokrat berpotensi kehilangan suara dari massa pendukung 10 peserta konvensi lain. Beda cerita jika hasil konvensi diumumkan setelah pileg, maka ada kemungkinan suara pendukung peserta konvensi akan masuk ke partai. Berdasarkan hitung-hitungan seperti ini, tentu partailah yang kemudian akan menangguk untung. Sayangnya strategi 11 figur bakal capres Demokrat justru berakhir antiklimaks.

Saat PDIP sukses dengan jargon coblos nomor 4 Jokowi presiden, Partai Gerinda dengan tagline Gerindra menang Prabowo presiden, atau PKB yang mengusung Rhoma Irama sebagai capres sedikit banyak turut mempengaruhi perolehan suara partai, tidak demikian dengan Partai Demokrat. Harapan meraup suara pendukung peserta konvensi terbukti gagal. Rakyat semakin rasional dalam menentukan pilihan. Mereka sadar jika kesempatan menang peserta konvensi jagoan mereka hanya 1 banding 11. Belum tentu dengan memilih Demokrat, peserta konvensi jagoan mereka akan dicalonkan sebagai capres.

Sementara itu terkait dengan keluhan minimnya tingkat elektabilitas yang dimiliki peserta konvensi, partai seharusnya turut mengambil bagian. Elektabilitas seseorang calon dapat dikatrol lewat sosialisasi secara terus menerus. Namun bagaimana para calon peserta konvensi akan meningkatkan elektabilitasnya jika mereka harus berjuang sendiri bahkan masih harus bersaing dengan peserta konvensi yang lain. Iklan Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Pramono Edhie, dll menggunakan sumber daya pribadi yang mereka miliki. Bandingkan jika partai ikut terlibat, tentu hasilnya akan berbeda. Apalagi jika partai sudah bulat menentukan peserta konvensi terpilih sejak jauh-jauh hari. Partai punya waktu lebih untuk menyusun strategi meningkatkan elektabilitas calon presidennya.

Ingat bahwa elektabilitas tinggi yang dimiliki Jokowi dan Prabowo sebagai bakal capres sudah dibangun selama bertahun-tahun. Mereka dikenal masyarakat sudah sejak lama. Prabowo sudah mendeklarasikan diri menjadi calon presiden bertahun-tahun yang lalu. Jokowi, meskipun dideklarasikan sebagai capres menjelang pemilu, namun dukungan terhadapnya sudah diperoleh sejak terpilih sebagai gubernur Jakarta.

Kita sebagai penonton hanya bisa melihat mau dibawa kemana Dahlan Iskan sebagai pemenang konvensi. Saat partai-partai lain sudah merapat pada capres tertentu, Demokrat masih sibuk berkutat pada urusan pribadinya. Sebagai masyarakat awam, semakin banyak capres tentu baik karena banyak pilihan. Namun dengan konvensi capres setengah hatinya, sulit rasanya bagi Demokrat untuk memasukkan pemenang konvensi dalam percaturan pilpres 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun