Awalnya saya skeptis ketika hingga batas akhir pendaftaran calon presiden dan wakil presiden hanya memunculkan dua pasang capres-cawapres. Bagi orang awam seperti saya, semakin banyak pasangan tentu semakin baik karena semakin banyak pula pilihan. Saya pun sempat berharap Partai Demokrat bisa membuat poros baru bersama Partai Golkar dan (mungkin) Partai Hanura sebelum akhirnya poros baru gagal terbentuk karena partai-partai tersebut memilih masuk ke poros yang sudah ada maupun netral.
Dengan komposisi dua pasangan maka pilpres tahun ini dipastikan berjalan dalam satu putaran. Tidak ada lagi kesempatan kedua seperti yang terjadi pada pemilu 2004. Menang berarti berkuasa, sementara kalah harus bersiap berada di luar pemerintahan. Oleh karena itu masing-masing pasangan dan partai pendukungnya harus mempersiapkan diri dengan program andalan yang dirasa dapat menggaet suara masyarakat.
Komposisi dua pasang calon selain memastikan pemilu berjalan satu putaran juga berdampak pada hadirnya dua kutub yang saling berseberangan. Tampaknya masing-masing pasangan paham betul bahwa strategi menggaet suara dari seluruh golongan masyarakat adalah sebuah kemustahilan. Mereka memilih bersikap dengan lebih berpihak pada golongan tertentu untuk memastikan dukungan dicurahkan sepenuhnya kepada mereka daripada mengakomodasi semua kepentingan golongan-golongan yang ada namun dukungan yang diterima hanya setengah-setengah. Keberpihakan salah satu calon pada golongan tertentu juga dimanfaatkan pasangan calon yang lain untuk berpihak pada golongan yang berseberangan.
Sisi positif dari upaya masing-masing pasangan dalam mengakomodasi kepentingan golongan tertentu yang saling berseberangan ialah semakin jelasnya program kerja yang disusun. Program kerja mereka tidak lagi berada di tengah, namun berdiri di salah satu kutub. Setidaknya ada 3 fokus program yang saling berseberangan diantara dua poros pasangan tersebut.
Pertama, pasangan Jokowi-JK fokus pada desentralisasi asimetris dalam menata pemerintahan, sementara pasangan Prabowo-Hatta cenderung sentralistik. Kedua, Jokowi-JK memilih negara berada pada sikap netral menyangkut keyakinan individu masyarakat sementara Prabowo-Hatta menginginkan negara aktif dalam memurnikan ajaran agama yang diakui oleh negara.
Ketiga, Jokowi-JK tidak serta merta bahkan cenderung menolak 10 tuntutan buruh karena menganggap tuntutan mereka tidak realistis sementara Prabowo-Hatta menerima keseluruhan tuntutan buruh. Sikap Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta tersebut sepertinya dapat digunakan untuk menjelaskan dimanakah suara pengusaha dan buruh akan berlabuh.
Tidak ada yang salah dan benar dari pemilihan program-program tersebut, karena masing-masing golongan memang memiliki kepentingan berbeda yang kadang saling berseberangan. Setiap program itu juga memiliki pendukungnya masing-masing. Ada yang mendambakan kembali pada sistem sentralistik, ada yang menyukai desentralisasi. Ada yang menginginkan keyakinan-keyakinan yang dianggap sesat untuk diberantas, ada pula yang menginginkan keyakinan-keyakinan tersebut tidak dipermasalahkan. Manakah gagasan yang lebih diminati oleh rakyat Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H