Masih tersimpan di benak kita, peristiwa yang terjadi 14 tahun yang lalu, tepatnya pada 29 Mei 2020 mengenai semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi). Lokasi semburan lumpur ini berada di Kecamatan Porong, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. Semburan Lusi telah menewaskan sebanyak 17 orang dan kerugian sebesar 45 triliun rupiah. Sejauh ini, ada 2 kemungkinan yang menjelaskan penyebab kemunculan bencana tersebut, yaitu kesalahan prosedur dalam pengeboran dan gempa bumi Yogyakarta pada 27 Mei 2006.
Kemungkinan pertama, kesalahan prosedur pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas. Seperti yang diketahui, PT. Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006. PT. Medici Citra Nusantara sebagai perusahaan kontraktor memenangkan tender pengeboran dari PT. Lapindo Brantas senilai US$ 24 juta.
Target dari pengeboran ini adalah formasi Kujung di zona Rembang. Akan tetapi, PT. Lapindo Brantas malah mengebor di zona Kendeng yang tidak memiliki formasi Kujung. PT. Lapindo Brantas merencanakan memasang casing setelah menyentuh target, yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak berada di zona Kendeng. Selama mengebor, PT. Lapindo Brantas tidak melakukan casing lubang. Hal ini dikarenakan proses pengeboran masih berlangsung. Selama pengeboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out), tetapi hal ini dapat diatasi dengan pompa lumpur dari PT. Medici Citra Nusantara.
Setelah berada di kedalaman 9.297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping yang dikira target formasi Kujung sudah tercapai. Padahal, PT. Lapindo Brantas hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (berlubang-lubang). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik atau circulation loss sehingga PT. Lapindo Brantas kehilangan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur di permukaan, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar dan terjadi kick. Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standar, operasi pengeboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pengeboran berdensitas tinggi ke dalam sumur untuk mematikan kick. Hal yang mungkin terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah telanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inci. Di kedalaman tersebut, diperkirakan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) dan kondisi geologis tanah tidak stabil. Fluida tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur, hal ini disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan melewati rekahan alami dan berhasil menyentuh permukaan. Inilah alasan surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Kemungkinan kedua, semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi) disebabkan oleh gempa bumi di Yogyakarta. Dugaan ini disampaikan oleh Profesor Stephen Miller, seorang peneliti dari Universitas Born, Jerman. Gempa bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter (SR) tersebut, terjadi pada 27 Mei 2006 dan menewaskan sebanyak 6.234 orang. Bahkan, gempa ini mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada situs kuno Candi Prambanan.
Pergeseran sesar Opak yang membentang dari pesisir pantai Bantul hingga ke Prambanan sepanjang 40 km dengan arah 30⁰NE, menjadi penyebab terjadinya gempa bumi ini. Kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa ini tergolong tinggi, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis gempa, kekuatan gempa dan kondisi tanah yang dilewati gempa. Gempa ini juga tergolong perusak karena termasuk jenis gempa dangkal dengan hiposentrum 17 kilometer di bawah permukaan tanah. Kekuatan gempa di atas 5 Skala Richter, sehingga gempa ini memiliki skala yang kuat. Selain itu, kondisi tanah di daerah Yogyakarta dan sekitarnya merupakan endapan vulkanik yang rapuh, sehingga gempa ini mengakibatkan banyak kerusakan.
Dalam American Association of Petroleum Geologists (AAPG) 2008, International Conference and Exhibition yang dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, pada tanggal 26-29 Oktober 2008. Ini merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli. 3 ahli dari Indonesia mendukung gempa Yogyakarta 2006 sebagai penyebab semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi), 42 ahli menyatakan kesalahan pengeboran sebagai penyebab semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi), 13 ahli menyatakan kombinasi gempa dan kesalahan pengeboran sebagai penyebab semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi) dan 16 ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanggal 29 Mei 2007, juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pengeboran.
Semoga semburan Lumpur Sidoarjo tetap bisa dikendalikan dan seluruh korban yang terdampak segera mendapatkan ganti rugi. Menurut informasi dari salah satu korban terdampak Lumpur Sidoarjo (Lusi), PT. Minarak Lapindo Jaya masih mengganti 20 persen dari kerugian total. Besar harapan dari korban terdampak kepada PT. Minarak Lapindo Jaya dan Pemerintah agar segera mengganti semua kerugian akibat semburan lumpur panas ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H