anak bisa saja mengalami peningkatan dalam pemikiran agresif yang menjadi penyebab meningkatnya perilaku agresif. Mereka cenderung menganggap perilaku yang ambigu, seperti seseorang yang menabrak mereka, sebagai perilaku yang tidak ramah. Mereka juga cenderung menganggap perilaku kekerasan sebagai respons yang sah terhadap provokasi. Apakah teman-teman mengetahui bahwa ternyata perilaku tersebut tidak muncul begitu saja, akan tetapi dapat dijelaskan dari segi psikologis? Mari kita telisik social learning Albert Bandura.
Teman-teman pasti pernah menjumpai atau mengetahui seseorang dengan perilaku yang lembut, keras kepala, bahkan perilaku narsis. SeorangSocial Learning
Social learning theory menjelaskan bahwa individu dapat belajar dari satu sama lain melalui pengamatan, peniruan, dan pemodelan (Gazzaniga & Grison, 2019). Social learning theory berusaha untuk menyelidiki sosialisasi dan bagaimana hal itu mempengaruhi perilaku manusia.
Orang-orang mengamati perilaku, sikap, dan hasil orang lain dan kemudian menggunakan informasi itu untuk mengembangkan perilaku mereka sendiri, menurut social learning theory. Elemen dasar proses ini mencakup empat kriteria pembelajaran esensial. Atensi, retensi dan ingatan, inisiasi dan aktivitas motorik, dan motivasi adalah empat tahap nyata dari pembelajaran sosial yang diidentifikasi oleh social learning theory.
- Â Atensi. Seorang pengamat harus secara aktif mempelajari lingkungannya untuk mendapatkan pelajaran atau pengalaman untuk memberi pengaruh pada mereka. Ini menguntungkan jika pengamat dapat mengidentifikasi dengan model atau memiliki sentimen yang baik tentang model tersebut.Â
- Retensi dan memori. Agar peristiwa apa pun yang diajarkan memiliki pengaruh yang bertahan lama, pengamat harus dapat mengingatnya setelah itu. Begitu pengamat mengingat pengalaman itu, akan bermanfaat untuk mengulanginya lagi, baik secara kognitif dalam pikiran mereka maupun secara fisik.
- Inisiasi dan aktivitas motorik. Pengamat harus mampu mereplikasi pelajaran yang dipelajari untuk menerapkannya. Sebelum perilaku dapat ditiru, diperlukan untuk mempelajari kemampuan yang relevan. Seseorang telah memperoleh kemampuan yang relevan ketika mereka secara efektif memperhatikan perilaku yang dimodelkan dan mereplikasi atau menunjukkannya. Â
- Motivasi. Sekalipun seorang pengamat telah berkonsentrasi pada suatu pelajaran, mengingat semua hal yang spesifik, dan menguasai kemampuan-kemampuan esensial, mereka tetap harus termotivasi untuk mewujudkannya. Sumber motivasi bisa berasal dari insentif dan suap eksternal, pengamatan bahwa tindakan yang sebanding dihargai, keinginan untuk menjadi seperti model yang menampilkan perilaku, atau ambisi internal untuk berkembang atau belajar. Selain itu, elemen-elemen yang dapat memengaruhi motivasi adalah atribut pribadi, pengalaman sebelumnya, hadiah yang dijanjikan, penguatan positif, dan hukuman.
Jika seseorang menghabiskan banyak waktu dengan orang-orang yang memiliki temperamen buruk, dia cenderung meniru tindakan mereka. Lingkungan yang sering disebut sebagai nurture memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepribadian anak. Â
Kekerasan dan Video Game
video game diperkenalkan ke pasar pada tahun 1970, kebiasaan anak-anak dan orang dewasa mulai berubah secara drastis. Anak-anak di negara-negara besar pengguna komputer, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea, dan Jepang, telah menghabiskan sebagian besar waktu bermain game komputer. Menurut angka terbaru, 92% anak-anak berusia 2-17 tahun di Amerika Serikat bermain video game komputer, namun keluarga dan pendidik seringkali tidak mengetahui isi video game dan bagaimana pengaruhnya terhadap anak-anak mereka (Doan, 2006).
Banyak hal yang berubah akibat kemajuan teknologi, namun salah satu perubahan yang paling signifikan adalah pada kebiasaan bermain anak. Tidak lama setelahMenurut penelitian, materi kekerasan dan dewasa dalam video game mencemari lingkungan budaya anak-anak, menghambat perkembangan otak, dan memicu perilaku agresif pada anak-anak. Sebuah studi baru yang kontroversial yang dilakukan di Singapura mengungkapkan bahwa anak-anak yang bermain video game kekerasan mungkin mengalami peningkatan pikiran agresif, yang dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif. Dalam penelitian tersebut, anak muda berusia 8 hingga 17 tahun yang banyak bermain video game kekerasan menunjukkan peningkatan perilaku agresif tiga tahun kemudian, dibandingkan dengan perilaku mereka pada awal penelitian. Mereka yang mengurangi waktu bermain video game kekerasan mengalami penurunan perilaku agresif.Â
Video Game dan Perkembangan Anak
Meskipun video game yang berhubungan dengan pendidikan adalah alat bantu motivasi dan pembelajaran yang luar biasa, bisnis game sebagian besar mengembangkan video game non-pendidikan dengan materi kekerasan dan seksual yang berlebihan. Mayoritas video game menggambarkan fantasi dan stereotip yang mempromosikan budaya kekerasan dan perang yang agresif. Akibatnya, video game kekerasan dan grafis seksual memanipulasi pikiran orang, menghasilkan desensitisasi emosional, dan menumbuhkan sikap stereotip.
Faktor-faktor seperti usia anak, ada atau tidaknya teman saat bermain, dan waktu yang mereka luangkan untuk bermain berdampak pada pengaruh video game yang mengandung kekerasan dan konten eksplisit secara seksual. Anak-anak meniru kekerasan dan menafsirkannya sebagai izin untuk memukul, melecehkan, dan mempermalukan teman sekelasnya. Ini juga mendorong individu untuk menerima perlakuan yang mereka terima tanpa mencari bantuan. Akhirnya, hal tersebut mengurangi empati terhadap korban sebenarnya dari peristiwa kekerasan (Brodeur, 2005). Â
Orang tua tidak hanya harus mengawasi berapa banyak waktu yang dihabiskan anak-anak mereka untuk bermain video game, tetapi juga apa yang mereka mainkan. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur berbahaya dari video game. Banyak orang tua tidak menyadari bahwa video game memiliki sistem peringkat (Wright, 2004). Meskipun pendekatan ini jauh dari ideal, namun membantu dalam membedakan konten video game saat membelinya.
Referensi:
Brodeur J (2005) Violence Prevention in Our Schools through Community Mobilization