Gelombang demokratisasi ketiga yang menyebar ke seluruh penjuru dunia pada akhir abad ke-20 berdampak pada runtuhnya legitimasi rakyat terhadap rezim otoriter di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Otoritarianisme rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun memunculkan kejenuhan rakyat akan kungkungan kebebasan dan tindakan-tindakan represif pemerintah terhadap rakyat yang dianggap subversif. Tidak hanya itu, praktek-praktek kolusi dan nepotisme yang kronis pada pemerintahan pusat hingga paling bawah, krisi ekonomi berkepanjangan yang memicu inflasi hingga 77% ditambah dengan dwifungsi ABRI semakin membuat rakyat merasa bahwa reformasi merupakan sebuah keharusan demi membersihkan pemerintahan yang kotor dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Puncaknya, pada Mei 1998 terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa di seluruh penjuru negeri berhasil memaksa Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Indonesia mulai memasuki era reformasi dengan salah satu semangat utama yaitu mengakkan demokrasi yang selama orde baru hanya menjadi mimpi indah bagi rakyat.Â
Era reformasi yang digulirkan mulai tahun 1998 membawa perubahan pada sistem politik khusunya pada tatakelola pemilu di Indonesia. Perubahan yang paling terasa pada tatakelola pemilu di Indonesia adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Pada masa Orde Baru, kepala daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Menurut Pasal 15 dan 16 UU No. 5 Tahun 1974, dua calon kepala daerah diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri kemudian dipilih salah satu untuk diangkat menjadi Kepala Daerah. Pemilihan Kepala Daerah dengan sistem ini sangat rawan disusupi oleh kepentingan-kepentingan dari Presiden maupun oleh DPR karena tidak ada transparansi kepada publik dalam proses pencalonan dan pemilihannya.
Setelah reformasi, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan secara periodik. Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat adalah wujud dari partisipasi rakyat dalam politik sehingga kepala daerah yang terpilih akan memperoleh legitimasi dari rakyat dalam menjalankan pemerintahannya. Lebih dari itu, Maswadi Rauf (2005) menyatakan bahwa alasan perlunya digelar pilkada langsung adalah Pertama, untuk membangun otonomi daerah; Kedua, menumbuhkan kepemimpinan local; Ketiga, meningkatkan akuntabilitas public dan transparansi pemerintah; dan Keempat, adalah proses legitimasi rakyat yang kuat.
Namun, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat yang seyogyanya diselenggarakan demi menegakkan nilai-nilai demokrasi itu justru menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik. Dalam kontestasi Pemilu, tidak jarang para peserta pemilu terkesan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Mereka kerap melakukan tindakan politik uang yang mencederai nilai-nilai demokrasi yang dibangun oleh semangat reformasi. Tidak hanya dalam Pilkada, dalam Pileg pun sering terjadi kasus-kasus serupa. Politik uang ini merupakan salah satu bentuk korupsi dalam pemilu.
Dalam buku Monitoring Election Campaign Finance dari Open Society Justice Initiative dijelaskan bahwa korupsi dalam pemilu adalah praktek pendanaan kampanye, baik penerimaan, maupun pengeluaran yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters. Korupsi pemilu bisanya terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, penerimaaan dan kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power); dan Ketiga, pembelian suara pemilih (money politic)
Dari penjelasan diatas, bisa kita uraikan bentuk-bentuk korupsi dalam pemilu sebagai berikut:
1. Penerimaan sumber-sumber dana kampanye yang dilarang menurut peraturanperundang-undangan.
Menurut pasal 4 ayat 1 PKPU No. 5 Tahun 2017, sumber dana kampanye bisa berasal dari pasangan calon, partai politik/gabungan partai politik pengusung, serta sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Adanya aturan ini sebenarnya sudah membatasi sumber dana kampanye para calon yang maju dalam pilkada. Akan tetapi tetap ada celah yang potensial untuk melakukan korupsi. Â Dalam aturan tersebut tidak mengatur dana yang dipakai untuk segala aktivitas pencitraan diri peserta pemilu sebelum dan sesudah masa kampanye. Selama ini para peserta hanya melaporkan pemasukan dan pengeluaran dana yang dipakai saat kampanye. Dana yang dipakai sebelum dan sesudah masa kampanye tidak dilaporkan dan ini menjadi celah masuknya dana-dana yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh aturan.
Menurut kajian dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat empat sumber dana kampanye yang menjadi kerawanan. Yang pertama, dari korupsi yang biasanya dilakukan oleh calon petahana. Kedua, dari partai dengan potensi ilegal dari korupsi proyek dan perijinan serta suap. Yang ketiga, dari badan usaha yang potensi ilegalnya adalah uang hasil tindak pidana pencucian uang. Yang keempat, dari ormas yang bersumber dari dana titipan ormas. Jika selama ini yang dilaporkan oleh peserta pemilu hanya dana yang dipakai selama kapanye, maka dana-dana yang dipakai sebelum dan sesudah masa kampanye bisa jadi berasal dari empat sumber-sumber rawan yang dipaparkan tersebut.
2. Penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan kampanye
Salah satu contoh bentuk penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk kampanye ialah pemakaian gedung-gedung pemerintahan untuk kegiatan kampanye dan pemakaian kendaraan dinas untuk akomodasi kampanye. Hal tersebut tentu tidak diperbolehkan karena gedung pemerintahan adalah fasilitas publik yang diperuntukkan bagi pejabat pemerintah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pemerintahan demi kempentingan publik dan bukan semata-mata milik pejabat untuk kepentingan pribadi dan kepentingan politik praktis. Begitupun dengan kendaraan dinas yang seharusnya digunakan sebagai akomodasi bagi pejabat pemerintah untuk mobilitas dalam kegiatan pemerintahan, bukan untuk kegiatan kampanye. Oleh karena itu, terbitlah UU Pemilu no. 7 tahun 2017 dalam pasal 281 dan 305 yang terdapat aturan cuti kampanye bagi pejabat yang akan mencalonkan kembali. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan fasilitas negara untuk kampanye oleh calon petahana.
3. Pembelian suara pemilih atau biasa disebut politik uang (money politic).