Film merupakan sebuah alat komunikasi yang bersifat massa, dimana film ini dikemas dengan unsur tokoh, alur cerita, dan pesan yang ingin disampaikan. Film dapat menjadi alat alternatif untuk menyampaikan pesan secara tersirat kepada masyarakat melalui sebuah cerita.Â
Selain itu, film memiliki pengaruh kuat terhadap isu-isu yang sedang berkembang di lingkup masyarakat, oleh karena itu film harus dibuat berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang ada dalam lingkup masyarakat, sehingga film mudah diterima dan menarik di mata masyarakat. Namun, dalam cerita film sering ditemui perspektif negatif mengenai alur film yang menceritakan tentang edukasi seks.
Salah satu film produksi Indonesia yang memiliki pesan pendidikan seks, yaitu film Dua Garis Biru. Film yang tayang di bioskop pada 11 Juli 2019 lalu menceritakan mengenai dua anak remaja SMA yang telah berpacaran dan memiliki hubungan yang baik.Â
Namun, mereka lepas kendali hingga melakukan hubungan seks, yang akhirnya menyebabkan tokoh perempuan dalam film tersebut hamil. Kehamilan yang terjadi pada remaja umur 17 tahun ini bukanlah pertanda baik, hingga akhirnya kehamilan tersebut diketahui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, yaitu orang tua dari tokoh perempuan, orang tua dari tokoh laki-laki, hingga pihak sekolah.Â
Akibatnya, tokoh perempuan ini dikeluarkan dari sekolah demi menjaga nama baik sekolah dan mental anak tersebut. Film ini menceritakan tentang konsekuensi yang harus diterima akibat tindakan seks yang dilakukan sebelum menikah.Â
Film ini menuntut para penonton untuk dapat menangkap pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam alur cerita tersebut, yaitu pentingnya bagi para orang tua untuk selalu menjaga komunikasi yang baik dengan anak serta mengenalkan mereka tentang pendidikan seks, sehingga anak mengerti konsekuensi-konsekuensi apa dibalik tindakan mereka demi menghindari hal yang tidak diinginkan.
Eartha Beatricia Gunawan dan Ahmad Junaidi dalam artikel yang berjudul Representasi Pendidikan Seks dalam Film Dua Garis Biru (Analisis Semiotika Roland Barthes) yang dimuat dalam Jurnal Koneksi Vol. 4 No. tahun 2020 mengemukakan pendapat bahwa
"Film Dua Garis Biru sempat mengalami kontroversi beberapa bulan sebelum penayangannya karena muncul petisi untuk memboikot film ini. Petisi tersebut digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di situs Change.org karena dianggap menjerumuskan masyarakat dengan menyebarkan pesan bahwa seks pranikah diperbolehkan bila diselesaikan dengan status pernikahan. Selang beberapa waktu, petisi tersebut dihapus oleh penggagasnya dan menyampaikan bahwa mereka salah mengartikan pesan yang akan disampaikan dalam film Dua Garis Biru dan turut mendukung film Dua Garis Biru."
Film Dua Garis Biru ini memiliki banyak kontroversi setelah ditayangkan, salah satunya yaitu mengenai perspektif negatif yang terjadi dalam masyarakat mengenai pemikiran-pemikiran, apakah kehamilan diluar nikah dapat diselesaikan dengan pernikahan semata, apakah kehamilan diluar nikah dapat diselesaikan dengan menggugurkan kandungan, apakah kehamilan diluar nikah yang terjadi pada remaja dapat diselesaikan dengan memberikan bayi tersebut kepada pihak ketiga, dan masih banyak lagi alur-alur cerita yang dapat membuat penonton salah menafsirkan pesan yang dimaksud dalam film tersebut.
Hal yang perlu diwaspadai dalam film ini, yaitu tingkah polah masyarakat yang nantinya mengikuti jalan cerita film tersebut tanpa mengetahui pesan yang sebenarnya ingin disampaikan.Â
Dalam film Dua Garis Biru ini sebenarnya hanya ingin menyampaikan, bahwa komunikasi antara orang tua dengan anak mengenai pendidikan seks merupakan hal yang penting. Karena rasa penasaran pada masa remaja merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai dan diantisipasi, masa remaja adalah masa di mana seorang anak bersifat sangat penasaran terhadap hal-hal yang sering terjadi dalam lingkup masyarakat, dan sebagai orang tua kita harus mengarahkan anak agar berada di jalan yang tepat.Â