Salah satu problem akut yang marak terjadi di lingkungan kampus adalah pelecehan seksual. Tahun-tahun terus berganti namun kasus-kasus pelecehan seksual kerap kali berulang. Polanya hampir selalu sama, yaitu melibatkan oknum dosen sebagai pelaku dan mahasiswa sebagai korban (tidak berarti mengesampikan pola-pola yang lain, seperti antar mahasiswa ataupun tenaga kependidikan). Sayangnya seringkali kasus-kasus semacam ini tidak terangkat ke permukaan (menjadi isu publik), karena ketakutan korban untuk melapor ataupun kampus yang tidak menindaklanjutinya secara serius. Pada akhirnya kasus pelecehan seksual menjadi semacam siklus dalam dinamika kehidupan kampus. Tentu menjadi sangat berbahaya jika hal ini terus dibiarkan.
Di bulan Desember tahun 2021 setidaknya ada dua kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus yang menjadi perhatian publik. Pertama, kasus oknum dosen Universitas Sriwijaya (Unsri) yang melakukan pelecehan secara fisik (memeluk, mencium, dan meraba) kepada mahasiswanya. Aksi pelaku dilakukan pada saat korban meminta tanda tangan untuk keperluan skripsi. Â Kedua, kasus oknum dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang melakukan pelecehan secara verbal---yaitu sexting---kepada mahasiswanya. Jika korban menolak, pelaku mengancam untuk tidak meluluskan mata kuliahnya. Diduga korban berjumlah 10 orang dengan bentuk pelecehan yang hampir sama. Tentu dua kasus ini hanyalah sampel dari kemungkinan kasus-kasus yang lain yang tidak muncul ke permukaan.
Pemerintah sebenarnya telah menindaklanjuti fenomena pelecehan seksual dengan menerbitkan Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang ditetapkan pada 31 Agustus 2021. Aturan ini ditindaklanjuti oleh beberapa kampus dengan membentuk satgas-satgas berkaitan dengan pelecehan dan kekerasan seksual.
Kekerasan Simbolik
Secara sosiologis, pelecehan seksual---khususnya verbal---merupakan bentuk dari tindak kekerasan. Kekerasan tidak hanya dapat dimaknai secara fisik (menimbulkan bekas yang terlihat), tetapi juga non-fisik. Sosiolog asal Prancis, yaitu Pierre Bourdieu, menyebutnya sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang paling halus, tidak mengundang resistensi, dan bahkan dianggap sebagai konformitas. Hal ini membuat korban tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban kekerasan, bahkan cenderung menganggap bahwa kesalahan terletak pada dirinya sendiri. Jika kekerasan fisik diperantarai oleh anggota tubuh, misalnya tangan untuk memukul atau kaki untuk menendang, maka kekerasan simbolik diperantarai oleh bahasa.
Pelecehan seksual verbal adalah wujud nyata dari kekerasan simbolik. Ungkapan-ungkapan bernada melecehkan merupakan wujud dari bahasa yang menundukan korban agar tidak melakukan perlawanan. Ketakutan korban pelecehan seksual untuk melapor ataupun sikap menyalahkan diri sendiri adalah bukti keberhasilan kekerasan simbolik. Ancaman-ancaman pelaku pelecehan seksual---misalnya tidak meluluskan mata kuliah---juga merupakan bentuk dari kekerasan simbolik yang membungkam korban untuk mengadukan tindakan pelaku.
Kekerasan simbolik yang terus menerus dibiarkan, lama kelamaan justru dapat dianggap sebagai sebuah kewajaran. Terbungkamnya korban dapat membuat pelaku terus menerus melakukan aksi bejatnya. Dalam titik tertentu, kekerasan sismbolik bahkan dapat menjadi bibit lahirnya kekerasan fisik. Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk menyadari praktik-praktik kekerasan simbolik.
Tindak Lanjut
Pemerintah dan pihak kampus wajib bertanggungjawab atas berbagai kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang PPKS dapat menjadi pedoman utama untuk melakukan pencegahan dan penindakan atas pelaku. Pemberian sanksi yang tegas berupa pemberhentian terhadap sejumlah oknum dosen pelaku pelecehan merupakan langkah yang tepat guna memutus rantai pelecehan seksual. Pemulihan kondisi psikologis dan hak-hak korban juga perlu menjadi prioritas tindaklanjut dari pihak kampus
Namun, perlu diingat bahwa tanggungjawab ini juga dibebankan kepada seluruh warga kampus. Baik rektor, dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa harus saling menjaga. Mengerti, memahami, dan menindaklanjuti praktik-praktik kekerasan simbolik dapat menjadi langkah awal untuk mencegah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H