Pada awal tahun 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa telah terjadi pandemi COVID-19 yang gejala-gejalanya sebenarnya telah diindikasi sejak akhir tahun 2019. Di Indonesia sendiri kasus penularan pertama dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Maret tahun 2020. Tercatat telah ada jutaan orang tertular virus ini dan ribuan orang harus meninggal dunia. Hal ini tentu menuntut negara beserta stakeholder-nya untuk dapat merespon situasi ini dengan cepat dan tepat, khususnya untuk menekan laju penularan. Masing-masing pemerintah daerah berusaha untuk berinovasi dalam mengeluarkan kebijakan guna merespon pandemi dengan tingkat penularan yang cukup tinggi, salah satunya adalah pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Pemprov Jawa Tengah mengeluarkan sebuah kebijakan yang disebut 'Jogo Tonggo'. Secara harfiah, 'Jogo Tonggo' berasal dari bahasa Jawa yang artinya 'Menjaga Tetangga'. Kebijakan ini berupaya untuk memanfaatkan sumber daya masyarakat---kultural dan sosial---sebagai aktor utama atau garda terdepan dalam menghadapi pandemi COVID-19. Artinya, disini pemprov Jawa Tengah berupaya menciptakan sebuah gerakan sosial yang aktor utamanya adalah masyarakat Jawa Tengah.
Secara terstruktur, gerakan jogo tonggo memiliki sebuah struktur organisasi yang terdiri dari, ketua RW, ketua RT, dan anggota masyarakat. Disini ketua RW berperan sebagai ketua satgas jogo tonggo dengan ketua RT sebagai wakilnya. Dibawahnya terdapat beberapa sub-satgas, diantaranya kesehatan (3 orang), ekonomi (3 orang), sosial & keamanan (5 orang), dan hiburan. Sub-satgas ini diisi oleh masing-masing anggota masyarakat. Selain itu, terdapat pihak-pihak lain yang ikut serta dalam satgas jogo tonggo, seperti karang tarunan, dasa wisma, posyandu, pendamping PKH, PPL (pertanian), pendamping desa, bidan desa, dan linmas. Kesatuan satgas jogo tonggo ini bekerja dengan berpegang padang sejumlah prinsip, diantaranya kemanusiaan, non-permanen, gotong royong, transparan, dan melibatkan semua pihak.
Diketahui bahwa dalam satgas jogo tonggo terdapat beberapa sub-satgas. Pertama, sub-satgas kesehatan. Tugasnya adalah memberikan pelayanan kesehatan, mendorong praktik hidup bersih dan sehat (PHBS), dan berkoordinasi dengan petugas kesehatan desa. Kedua, sub-satgas ekonomi. Tugasnya adalah mendata kebutuhan dasar masyarakat, mendata warga yang tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar, melayani kebutuhan makan sehari-hari warga yang karantina mandiri, dan mendorong terbangunnya lumbung pangan. Ketiga, sub-satgas sosial dan keamanan. Tugasnya adalah melakukan pencatatan orang masuk dan keluar lingkungan RW, membuat jadwal giliran ronda, menghindarkan kerumunan, dan memastikan ODP dan OTG tidak keluar rumah, memastikan seluruh kegiatan sosial dilakukan secara gotong-royong. Keempat, sub-satgas hiburan. Tugasnya adalah mengurangi kejenuhan masyarakat dengan mengadakan sejumlah kegiatan yang menghibur dengan mengangkat nilai kearifan lokal dan tetap memerhatikan protokol kesehatan COVID-19.
Secara rutin satgas ini akan memberikan laporan secara rutin kepada desa/kelurahan untuk kemudian diteruskan ke pemerintahan setingkat di atasnya. Terdapat beberapa poin yang harus dilaporkan oleh satgas jogo tonggo. Pertama, warga yang dirawat di rumah sakit. Kedua, warga yang sembuh dari perawatan. Ketiga, warga yang sudah dan yang belum mendapatkan bantuan. Keempat, warga yang melakukan karantina mandiri 14 hari. Kelima, ketersediaan sembako. Keenam, jam kunjungan warga/tamu. Ketujuh, jadwal patroli/ronda.
Kebijakan yang dikeluarkan pemprov Jawa Tengah dengan membentuk satgas jogo tonggo adalah langkah yang cukup strategis. Mengingat luasnya wilayah Indonesia, kebijakan yang bersifat top-down seringkali tidak terimplementasi dengan baik, justru kebijakan-kebijakan yang berupaya untuk memanfaatkan kesadaran kolektif masyarakat menjadi langkah yang cukup tepat. Dalam situasi seperti pandemi, masyarakat tidak dapat selalu diposisikan sebagai objek yang menunggu turunnya sebuah perintah, petunjuk, ataupu kebijakan untuk melakukan suatu tindakan. Jika hanya hal ini yang dilakukan, tentu apa yang diharapkan pemerintah mengenai keterkendalian laju penularan sulit dicapai. Kembali lagi bahwa dengan luasnya wilayah Indonesia, terkadang ada ketersumbatan saluran informasi yang membuat masyarakat terkadang tidak paham atau bahkan salah tafsir mengenai petunjuk tertentu dari pemerintah berkaitan dengan respon atas pandemi.
Pemprov Jateng dengan satgas jogo tonggo-nya mampu melihat peluang adanya sumber daya sosial dan kultural dalam diri masyarakat untuk dapat menciptakan sebuah kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif disini maksudnya adalah kesadaran masyarakat mengenai situasi pandemi COVID-19 yang memerlukan respon yang serius, serta pentingnya memiliki rasa kepedulian sosial terhadap satu sama lain. Dengan adanya satgas atau gerakan jogo tonggo, masyarakat dididik untuk memiliki rasa tanggungjawab atas nasib orang-orang di sekelilingnya. Masyarakat juga merasa dapat terlibat dalam membantu meringankan beban orang-orang yang terdampak pandemi. Dalam jangka panjang, satgas jogo tonggo dapat menjadi aktor utama dalam merespon berbagai macam krisis di masa depan. Masyarakat menjadi terbiasa dan mandiri serta tidak kaget ketika terjadi suatu krisis, tidak ada ketergantungan total terhadap pemerintah, karena masyarakat telah mampu dan berdaya.
Berkaca pada upaya yang dilakukan pemprov Jateng melalui gerakan jogo tonggo. Hal ini menandakan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam merespon sebuah situasi. Masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Dengan itu, masyarakat dapat menjadi mandiri dan berdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H