Mohon tunggu...
Diman Diman
Diman Diman Mohon Tunggu... -

Kerja didalam hutan, berusaha menggali potensi diri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pocongpun Bisa Menangis...

19 April 2010   15:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_121915" align="alignright" width="296" caption="Illustrasi Pocong / google"][/caption] Kebiasaan judi Togel ( toto gelap ) sepertinya sudah mendara daging ditubuhku, walau judi sudah dilarang dan ada sangsi hukuman penjara bila tertangkap tangan saat memasang togel, namun semua itu tidak menghentikan kebiasaan burukku, Aku masih bisa memasang taruhan secara sembunyi - sembunyi tentunya dengan bandar yang kupercaya. Mengutak atik angka adalah sarana untuk mencari nomer jitu, berbekal sebuah pena dan kertas jadilah aku tenggelam dalam lautan khayalan, Ingin kaya dengan cara pintas... " San, jadi nggak kita minta tolong dukun itu ? " tanya Anton suatu sore. Anton adalah temanku satu profesi, sama - sama penggila togel. Bedanya Anton jam terbangnya lebih lama dalam urusan togel ini, dan Antonpun sudah beberapa kali menang taruhan togel dalam jumlah yang besar. Untuk mencari nomer jitu Anton juga sering berburu wangsit ke makam - makam keramat, hampir semua makam keramat yang ada dikotaku sudah sambanginya. Kali ini Anton mencoba memanggil arwah seorang preman terminal yang beberapa hari lalu tewas dikeroyok musuh - musuhnya. Anton cukup mengenal preman yang tewas ini, sebab mereka sering berjumpa saat mereka sama - sama mau memasang nomer togel. Dengan bantuan seorang dukun yang katanya jago memanggil arwah - arwah yang penasaran. " Aku lagi nggak ada duit buat bayar persyaratannya, "  kataku " Tenang... masalah umbo rampeh itu, aku yang tanggung semuanya. Pokoknya kau ikut aja. "          Gila ! pikirku, Uang 2 juta yang diminta sama dukun itu sebagai syarat, sanggup dibayar Anton sendirian. Iya kalau nomernya tembus, dia bisa kaya mendadak tapi kalau nggak keluar ??... Sesuai kesepakatan dengan dukun itu malam Jum'at sekitar jam 23.00 kami berangkat menuju kepemakaman umum, tempat dimana preman yang tewas itu di kubur. Rasa takut mulai menyerang saat kami memasuki areal makam, jujur baru kali ini aku akan berurusan dengan mahluk ghaib itupun terpaksa demi impianku untuk bisa kaya mendadak apabila nomer yang kupasang keluar. Cuaca malam itu sangat bersahabat, sinar rembulan menerangi langkah kami menyusuri jalan diantara makam - makam. Akhirnya sampailah kami disebuah makam yang tampak masih baru, nisannya terbuat dari kayu, seonggok kembang tujuh rupa yang sudah layu tergolek diatas tanah makam. Aku dan Anton duduk bersila didepan makam sesuai perintah sang dukun. Sang dukun mengeluarkan peralatan dari kantong kresek yang ia bawa, ada kembang, kemenyan,botol kecil berisi minyak ( mungkin minyak khusus untuk memanggil arwah ), cemeti. Aku sempat berpikir untuk apa cemeti itu ?! bentuknya tidak panjang ada kurang lebih 40 cm bahannya dari lidi yang dianyam. Prosesipun dimulai... sambil komat kamit sang dukun mulai membakar kemenyan, dia berjalan mengeliling kami, suasana yang kurasa mulai mencekam, entah darimana datangnya tiba - tiba ada hembusan angin di atas kepala kami, sang dukun terus berkeliling... bulu kudukku semakin berdiri, kulirik Anton yang ada disampingku... dia tenang, tidak bergerak sedikitpun. Sang dukun akhirnya jongkok persis didepan kepala nisan, dia mengoleskan minyak dari botol kecil tadi. Anehnya begitu sang dukun mengusap kepala nisan itu, seketika itu juga angin berhenti bertiup. Suasana kembali hening...Sang dukun duduk bersila  menghadap kami, jadi posisinya kami duduk berhadap -hadapan dan dipisahkan oleh makam preman itu. Wuusss.....gumpalan asap tiba - tiba keluar dari dalam tanah, aku sempat terdorong kebelakang saking kagetnya. " tenang...." bisik Anton sembari menahan badanku. Ingin rasanya saat itu aku memejamkan mata tapi tak bisa, gumpalan asap berubah jadi pocong ! dapat dibayangkan jarak kami duduk hanya sekitar 80 cm dari pocong itu berdiri. Pelan - pelang aku perhatikan dari bawah, sebatas mata kaki badan pocong tertanam dalam tanah, kulihat terus sampai keatas hiiyyy... sepertinya banyak darah membasahi kain kafan pocong itu. Bau anyir darah dicampur bau kemenyan dan bau kembang orang mati bercampur jadi satu. Aku benar - benar ketakutan setengah mati. Sang dukun berdiri sambil memegang cemeti " kau tau kenapa kau kami panggil ?" sang dukun mulai bersuara, pocong itu tetap diam tak bereaksi apa - apa. " Coba kau tunjukkan kepada kami berapa angka singapur untuk putaran sabtu besok ? " pinta dukun itu lagi, pocong masih tetap diam.             " Iya... beritahu kami berapa nomer yang akan keluar sabtu besok " Anton ikut -ikutan ngomong. Tak ada reaksi apa - apa, hening... Aku sendiri diam seperti patung, jangankan bersuara membuka mulut saja aku tak bisa menyaksikan apa yang terjadi dihadapanku. " Ayo katakan, berapa nomer yang akan keluar hari sabtu !" suara dukun mulai meninggi, sepertinya sang dukun mulai habis kesabarannya. Lagi - lagi pocong tetap diam seribu bahasa. Tar.. tar.. suara cemeti yang diayunkan sang dukun ke badan pocong itu. Badan pocongpun bergoyang, Aneh ! suara cemeti itu begitu keras saat diayunkan ke badan pocong seperti suara petasan cabe rawit. Kembali sang dukun bertindak, tar..tar.. cemeti kembali mendarat kebadan pocong. Suasana tambah mencekam... kali ini badan pocong lebih keras bergeraknya namun hanya badan bagian atas yang bisa bergerak, sementara kakinya tetap tertanam ditanah. U..u...uuu.uuuuuh..suara pocong melolong panjang, tar..tar.. sang dukun terus menghajarnya. Uuuu...uu..uu..uuuuu..uu.u...u...uu..u suara tangis pocong benar - benar membuatku takut. Jeritannya sangat menyeramkan. Tiba - tiba Anton berdiri menyambar cemeti yang dipegang sang dukun. Antonpun ikut menyerang pocong, tar..tar..tar... Uuu..u..u..u......................u..u..................uuu.uu. suara tangis pocong semakin tertahan, sebenarnya aku sudah tidak tahan lagi menyaksikannya, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Tar..tar.. kembali Anton mengayunkan cemeti itu ketubuh pocong, Anton bertindak bak orang kesurupan. " Ayo San, kita pulang, pocong sialan ! " pekik Anton, tanpa menoleh lagi kami berdua meninggalkan sang dukun yang masih berdiri bersama pocong itu. Kali ini langkah kaki lebih cepat meninggalkan komplek pemakaman, Aku ingin cepat sampai dirumah. Tiga bulan setelah kejadian itu, temanku Anton tewas akibat kecelakaan. Aku sempat berpikir apakah ini karma bagi Anton setelah ia menganiaya pocong pada malam itu. ( Seperti yang diceritakan teman penulis saat ia masih suka main judi, sejak kejadian itu teman tadi bertobat tidak mau main judi lagi dan sekarang bekerja sebagai satpam, walau gajinya kecil tapi halal begitu katanya.... ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun