Gunung Kidul, Yogyakarta, menyambut saya dengan udara segar dan keramahan khas pedesaannya. Saat itu, saya adalah seorang relawan yang ditugaskan untuk mengajar di sebuah SD kecil di daerah ini. Tugas saya sederhana, mengenalkan pahlawan, mengajak anak-anak menggambar, dan bermain. Tapi siapa sangka, pengalaman ini menjadi salah satu pelajaran hidup terbesar tentang keberagaman budaya dan seni berkomunikasi.Â
Hari pertama saya di desa menjadi momen yang tak terlupakan. Kepala sekolah SD menyambut saya dengan senyum tulus. Saya disuguhi makanan khas desa, jadah, dan teh manis hangat. Dalam budaya Jawa, suguhan seperti ini adalah bentuk penghormatan kepada tamu, sesuatu yang membuat saya merasa diterima.Â
Sebagai orang Sumatera, cara komunikasi orang Jawa yang penuh basa-basi dan lembut adalah hal baru bagi saya. Di Sumatera, kami cenderung berbicara dengan lugas dan langsung ke inti pembicaraan. Namun, di sini, saya harus belajar menyesuaikan diri. Berbicara terlalu langsung bisa dianggap tidak sopan. Maka, saya mulai memperhatikan setiap kata dan nada bicara saya.Â
Menghadapi anak-anak adalah tantangan tersendiri. Mereka ramah, tapi pemalu. Ketika saya meminta mereka memperkenalkan diri, mereka hanya tersenyum kecil atau berbisik satu sama lain. Saya sadar, jika ingin dekat dengan mereka, saya harus mencari pendekatan yang menyenangkan.Â
Kegiatan menggambar menjadi jalan masuk saya. Saya meminta mereka menggambar pahlawan favorit. Salah satu anak menggambar Pangeran Diponegoro sambil bercerita tentang perjuangannya melawan penjajah. Saya pun berbagi cerita tentang Tuanku Imam Bonjol, seorang pahlawan dari Sumatera. Dengan cara ini, mereka tidak hanya belajar tentang pahlawan nasional, tetapi juga tentang keberagaman budaya Indonesia.Â
Sebagai orang Sumatera yang berbicara dengan logat khas, interaksi saya dengan warga desa sempat menjadi momen lucu. Anak-anak sering tertawa ketika saya mencoba berbicara dalam bahasa Jawa, tapi saya tahu itu adalah bentuk keakraban mereka.Â
Stereotipe juga sempat menjadi tantangan. Ada anggapan bahwa orang Sumatera itu keras, sementara orang Jawa itu terlalu lamban mengambil keputusan. Namun, melalui interaksi sehari-hari, saya belajar bahwa stereotipe hanyalah prasangka yang tidak selalu benar.Â
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa komunikasi antarbudaya tidak hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang memahami cara pandang dan kebiasaan orang lain. Saya belajar untuk lebih sabar, mendengarkan, dan menyesuaikan diri. Anak-anak di desa itu juga mengajarkan saya tentang keindahan keberagaman. Saat kami bermain bersama, semua perbedaan menjadi tidak berarti. Mereka hanya anak-anak yang penuh semangat, tanpa peduli dari mana saya berasal.Â
Pengalaman ini sangat relevan jika saya menjadi seorang jurnalis. Sebagai jurnalis, saya harus mampu memahami budaya narasumber agar dapat menyampaikan informasi secara objektif. Pengalaman di Gunung Kidul mengajarkan saya pentingnya empati dan sensitivitas dalam berkomunikasi. Â Misalnya, saat meliput di daerah pedesaan, saya tahu bahwa mendekati narasumber dengan cara yang sopan dan menghormati tradisi mereka adalah kunci untuk mendapatkan kepercayaan.Â
Gunung Kidul bukan hanya tempat saya mengajar, tetapi juga tempat saya belajar. Saya belajar bahwa keberagaman budaya bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk saling memahami dan bertumbuh. Di tengah perbedaan, selalu ada harmoni yang bisa ditemukan jika kita membuka hati dan pikiran. Dan untuk saya, pengalaman di Gunung Kidul akan selalu menjadi pengingat betapa indahnya hidup di tengah keberagaman.
- Dilpina Handini Putri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H