Mohon tunggu...
Dilla Zhafarina
Dilla Zhafarina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah riak rasa yang tak bersuara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rainy Day

20 November 2013   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:54 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“sejak hari itu, hujan tak lagi hanya membawa sepaket kebahagian untukku namun juga luka yang sepertinya dulu tertinggal di dalamnya saat aku lahir”

Ruangan itu menghadap langsung ke arah taman yang dipenuhi bunga-bunga berwarna cerah dan berlantai rerumputan hijau yang tertata rapi. Desainnya terlihat indah, namun tak bisa membuat gadis yang duduk termangu di sisi jendela ingin menatapnya. Ia masih saja kukuh memandangi gumpalan awan mendung dengan tatapan kosong. Seolah telah berlangsung pertunjukan di atas sana. Kilatan matanya juga menyorotkan harapan, entah apa sebenarnya yang ia harapkan jatuh dari atas langit ke hadapannya.

Di dalam kediaman itu, hanya terdengar hembusan nafas teratur. Diam menunggu apa yang ingin ia tunggu. Kesunyian membuatnya larut dalam pikirannya hingga saat rinai hujan mulai membawa kebisingan khas dan hembusan udara sejuk yang sedikit menusuk tulang. Kedua sudut bibirnya tertarik membuat sesimpul senyum terbentuk di wajah tirusnya, tepat setelah hujan mulai membuat tanah-tanah menjadi basah. Namun, tak sampai satu menit kemudian, guratan senyum itu berubah menjadi wajah murung.

“Lihat, langit semakin gelap begitu kau mengubah ekspresimu. Terlihat jelek, namun tetap ada saja yang merindukannya.” Suara berat itu membuat mata gadis tadi terbelalak, memaksa otot-otot bibirnya kembali tersenyum dan menoleh ke arah suara itu.

“Apa kabar, Rainy sayang?” sapa suara berat itu kembali.

“Aku tahu, kau pergi saat hujan maka kau akan kembali di saat hujan. Tebakanku tentangmu belum pernah salah kan, Sayang?” jawab gadis itu, ia menoleh sesaat lalu kembali pada derai-derai hujan di luar ruangan.

“Kau selalu lebih menggilai hujan daripada aku, sudah seharusnya mereka membawa sepaket kebahagian hari ini Rain, bukan wajah murung yang tak sedang ingin menoleh kehadapanku.”

“sejak hari itu, hujan tak lagi hanya membawa sepaket kebahagian untukku namun juga luka yang sepertinya dulu tertinggal di dalamnya saat aku lahir. Sejak hari itu Guruh, hujan tak lagi begitu indah seperti saat kau memanggil namaku.”

Disela percakapan itu, hujan tadi hanya menyisakan titik-titik air serupa embun. Keheningan menyeruak kembali ke seluruh lini mungil ruangan tempat Rainy terdiam. Kini hanya tinggal dirinya di sana, kembali menatap hujan yang datang serupa angin lalu. Ia kembali menatap langit sepeninggal hujan. Ada seluruh perasaan di setiap tatapannya, seperti yang ia katakana tadi, sepaket kebahagiaan dan luka yang ternyata sempat tertinggal untuk ikut di dalamnya.

Ketika ketidaksanggupan mulai datang, Rainy berdiri dan berjalan menuju ranjang di sudut ruangan. Duduk memojokan diri. Khayalan-khayalan berdtangan seperti bom waktu yang siap meledak. Sesaat ia tertawa dan sedetik kemudian ia mungkin akan menangis. Jiwanya setengah dipermainkan oleh khayalan dan kenangan.

Lalu terdengar suara derak pintu dan seketika muka Rainy menjadi jengah. Pengganggu, perusuh, pergi saja dan tak usah mendekat. Semua kata-kata hanya keluar dari kepala, tak menghasilkan suara

Hujan Kedua

Kian hari penampilannya semakin tak karuan. Rainy telah kehilangan kendali terhadap kontrol di dalam dirinya. Wajahnya semakin pucat, badannya tak lagi menampakkan bahwa ia sehat. Di dahinya terbentuk kerutan yang menyiratkan bahwa ia punya setumpuk hal yang selalu dipikirkan.

Rainy duduk memeluk kakinya sendiri di sudut ranjang. Rambutnya dibiarkan terurai dan diletakkan seluruhnya pada bahu kanannya. Seperti biasa, ia kembali menatap langit. Menanti yang biasa ia nanti. Selalu bersikap diam, sediam yang basa ia lakukan. Hingga kemudian langit yang sedari tadi cerah berubah menjadi gelap sedikit demi sedikit. Surya digiring bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam.

Raut muka Rainy secepat kilat berubah. Seperti seorang anak yang melihat sesuatu yang amat disukainya, Rainy berlari kea rah kursi di sisi jendela, singgasana kesukaannya. Ia meletakkan tangan ke bawah dagu, lagi-lagi menatap langit yang mulai menurunkan tetesan air.

“Terimakasih selalu setia menungguku, Rainy.” suara berat itu kembali terdengar.

Rainy menoleh kesamping, tersenyum sedih “aku selalu melakukannya, Guruh. Bahkan disaat kau tak juga datang kesampingku dihari itu.”

“Aku datang, Rainy. Hanya saja titik hentiku lebih jauh dari yang kuperkirakan. Aku berbelok kearah berbeda seperti yang kita rencanakan. Namun Rainy, kamu masihlah tujuanku.” laki-laki berkulit putih pucat, hampir sama pucatnya dengan Rainy itu memandang gadis di sampingnya dengan tatapan sedih.

“Hari itu hujan kupikir juga ikut merayakan hari dimana akan taka da lagi jarak dan batas yang dapat menghalangi kita, Guruh. Tapi sedetik kemudian, hujan mengantarkanku pada luka yang tak kuperkirakan akan ikut ambil andil dalem paket yang kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan saat hujan.” mata Rainy berkaca-kaca, tetapi taka da satupun air mata yang jatuh. Ya, mungkin hujan deras diluar sana telah mewakilinya meski jatuh pada tempat yang berbeda.

Mereka melepas kerinduan tanpa kata pada detik selanjutnya. Sama-sama menikmati suara dan bau tanah yang ada karena hujan. Setelah lama bertahan pada kesunyian, Rainy menatap laki-laki di sampingnya.

“Kupikir hujan adalah hal yang akan mengantar kita pada kebahagiaan, Guruh. Kenapa harus hari itu, kenapa harus disaat hujan yang kupikir juga ikut merayakan?”

Di balik pintu ruangan mungil itu, berdiri dua orang wanita. Yang satu mengenakan jas putih dan sedang merangkul bahu wanita setengah baya di sebelahnya yang tampak sedang berlinang air mata. Tatapan wanita itu dipenuhi kepedihan memandangi gadis yang duduk di sisi jendela itu.

Hujan Ketiga

Sudah tiga hari Rainy menanti langit kembali menjadi mendung. Duduk ditempat biasa, diruangan mungil itu. Tak ada satupun bagian tubuhnya yang menunjukan bahwa ia bersemagat hari itu. Raut muka Rainy yang tampak setiap menit semakin gelisah membuat ia terlihat sangat menyedihkan. Sesekali ia mondar-mandir dari ujung ruangan satu ke ujung lainnya.

Lalu suara pintu membuatnya terhenyak dan berhenti untuk menoleh. Dua sosok yang membuat bibirnya cemberut. Rainy menatap mereka dengan kepala ditekuk, menatap tak suka. Sedang dua sosok yang perlahan memasuki ruangan itu mempertontonkan senyum lebar yang tak kunjung dibalas dengan senyum.

“Selamat pagi, Rainy.” sapa wanita berjas putih, namun mendengar suara itu Rainy malah semakin menjauhkan diri. Mundur hingga punggungnya menyentuh dinding.

“Sayang, ini Mama. Kemari Nak, Bu Dokter mau bicara sebentar.” lanjut wanita lainnya dengan tangan diulurkan kearah Rainy.

“Pergi Kalian!” teriakan itu mengagetkan kedua wanita tadi. Wanita yang menyebut dirinya Mama tadi seketika menanis mendengarnya, sedangkan dokter disebelahnya memanggil beberapa perawat yang tampaknya telah bersiap sedari tadi dibalik pintu.

Mereka menggiring paksa Rainy yang terus meronta ke arah ranjang. Wanita setengah baya tadi mulai menangis sesenggukan melihat putrinya diperlakukan seperti itu. Sang dokter menyuntikan cairan kedalam tubuh Rainy, dan ketegangan diruangan itu pun sedikit demi sedikit memudar, namun raut kesedihan wanita paruh baya itu tak juga mereda.

“Bu, sebaiknya kita biarkan Rainy istirahat dulu. Semoga setelahbangun nanti ia bisa lebih tenang.” ucap Sang Dokter.

“Dok, saya mohon Dokter harus bisa membuat anak saya jadi normal kembali, menjadi Rainy yang ceria seperti dulu.” rintih orang tua Rainy.

“Sabar, Bu. Semuanya pasti butuh waktu.” Lalu mereka berdua beranjak meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Rainy yang tertidur diranjang kecilnya.

Disaat Rainy memejamkan mata pun, raut mukanya masih tampak gelisah. Sepertinya ketentraman telah direnggut darinya sejak hari dimana ia mulai menyangsikan kebahagiaan yang didatangkan oleh hujan.

Obat penenang itu mebuat Rainy tidur berjam-jam lamanya hingga ia tak tahu bahwa hujan telah turun menanti dirinya. Langit mendung kali ini menyiratkan bahwa hujan mungkin akan mampir untuk waktu yang lama.

Rainy perlahan membuka matanya. Kabur ia melihat sesosok laki-laki disisi jendela, disamping singgasananya. Ia tesenyum simpul melihat apa yang ia harapkan datang sedari tadi.

“Apa kabar, Sayang? Kau tertidur lama sekali.” ucap laki-laki itu.

“Aku tak pernah baik sejak hari itu, Guruh. Sejak hari dimana seharusnya kita menyatukan janji namun hujan malah tak mengantarkanmu padaku.” Rainy berkata lirih.

“Hujan mengantarkanku ke tempat yang jauh lebih baik. Mereka menyebutnya dengan keabadian. Mereka juga bilang aku bisa menunggumu di sini selama yang aku mau.”

“Ajak aku, Guruh. Tanpamu, hujan tak lagi membawaku pada kebahagiaan.” Kali ini Rainy mulai menangis sesenggukan. Air mata mulai berjatuhan.

“Belum giliranmu, Rainy. Tapi percayalah aku akan menunggumu ditempatku selama yang bisa kau kira. Selama hidupmu, Rainy. Setiap tetes hujan adalah keyakinanku bahwa kita memang ada untuk bersama meski bukan di duniamu yang sekarang. Duniaku ini benar-benar menjanjikan keabadian untuk kita.” Suara laki-laki itu benar-benar terdengar meyakinkan, suara itu juga terdengar tetap menenangkan.

“Benarkah, kalau begitu aku juga akan menunggu saat itu, disini, selamanya. Aku mencintaimu, Guruh.” Kata-kata terkahir Rainy membawa dirinya pada lelap kembali. Dininabobokan gemercik suara hujan bersama baunya yang melelapkan.

Begitulah hujan selalu membuat mereka bisa bertemu. Pertemuan yang terlihat sebagai kegilaan, tapi menjelma sebagai pelepas kerinduan bagi Rainy. Menunggu Guruh diruangan itu setiap hujan adalah kebahagiaan baginya, menyedihkan bagi yang lain. Satu-satunya kewarasan yang tersisa bagi Rainy, namun sebentuk kegilaan yang tak ada habisnya bagi yang lain. Ruangan itu terasanya menyayat hati bagi orang lain, namun adalah tempat yang indah bagi Rainy untuk selalu menunggu lelaki hujannya. Untuk menunggu saat itu.

END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun