"Sebab ia putih, tinggi dan langsing. Ia pantas!" Sering kali sebuah kalimat pendek ini menjadi jawaban dari hasil pemikiran masyarakat jika dihubungkan dengan pertanyaan soal kecantikan di media sosial. Beberapa bahkan mulai berpikir bahwa tubuh pendek dan berkulit kecoklatan adalah sebuah kekurangan.
Disebut sebagai standarisasi kecantikan, bertubuh tinggi, langsing, putih menjadi dambaan kaum wanita. Benar saja, bukan hanya kaum hawa namun juga kaum adam yang menjadi pemegang kunci utama design 'keyakinan' baru ini hadir dalam pertumbuhan media.
Faktanya, Julia Kristeva dalam bukunya Feminisme telah menjabarkan perihal ilmu membaca tubuh wanita. Ia bahkan berhasil merumuskan hal-hal yang menyangkut dengan kesetaraan gender dan wanita dalam pekerjaan.
Sementara Kristeva berbicara mengenai identika perempuan melalui genos dan venos sejak Abad ke 18SM, Sara Mills berbicara mengenai bagaimana perempuan memandang dirinya sendiri melalui kapasitas kecantikan milik orang lain. Hal ini sejalan dengan bagaimana media berhasil mendoktrin pemikiran masyarakat saat ini mengenai makna 'cantik'.
Tubuh perempuan dianggap seakan-akan sebagai sebuah ornamen. Dimana segala apapun yang menempel di tubuhnya, dapat menjadi batu pijakan penilaian orang lain. Menjengkelkan? Tentu saja. Tapi apa wanita memberi penolakan pada pernyataan tersebut? Tidak.
Karena pemaknaan tubuh perempuan pada dasarnya dinilai oleh bagaimana media memahami dan menanggapi. Yang akhirnya, membuat masyarakat lebih memilih untuk percaya bahwa individu-individu di luar kriteria tadi 'tidak cantik'.
Contoh terdekat yang dapat penulis ambil adalah dirinya sendiri. Bukan merupakan bagian dari kriteria perempuan tinggi, langsing, dan putih, akhirnya kami mengeluarkan keputusan untuk menciptakan 'cantik' dengan cara kami masing-masing.Â
Cantik bukan melulu mengenai penampilan. Jika boru Medan berbicara, "kau cantik, jika kau buka hatimu", artinya berikan cantik itu dari sikapmu, dari hatimu, selanjutnya penampilan akan mengikuti.
Ada masanya di lingkunganmu, terdapat perempuan yang tidak cantik seperti kriteria masyarakat dan media saat ini, tetapi ia lebih banyak mendapat acungan tangan ketika di tanya siapa yang menyukainya. Akan ada masanya ketika kamu merasa jelek tetapi rekan sejawatmu berkata "kau ini kurang bersyukur atau apa?" walaupun kita tidak tahu pasti apakah itu berarti kita cantik atau kita hanya harus bersyukur dengan keadaan.
Ya intinya itu tadi, cantik itu kita yang tentukan. Ingin melalui sudut mana orang lain melihat kecantikan kita. Ingin menjadi wujud kecantikan paripurna, atau cantik itu sendiri. Sebab dalam hidup, setiap dari kita pasti berada di dalam suatu ruangan yang merupakan metafora dari kehidupan itu sendiri, yang menjadi pembeda dari tiap individu adalah jendela mana yang ingin kita pilih untuk menatap dunia dan mensyukurinya.
Media dengan segala isinya tidak akan pernah selesai membuat paradigma sosial mengenai 'cantik'. Sesaat media menyuapi cantik dengan kata putih, sesaat media menyuapi cantik dengan kata mahal. Pada akhirnya, tentukanlah dirimu sendiri.