Aku tak tau apakah aku harus membenci hujan ? Ataukah harus mencintainya ?Â
Hujan pernah menorehkan kisah romantis tentang kita, kisah yang tidak akan pernah terhapus dari memoriku tatkala untuk pertama kali bunga-bunga mekar di hatiku. Namun hujan juga berlaku kejam padaku yang membuat bunga-bunga yang mekar itu layu untuk selamanya.
Aku merapatkan jaketku, dingin menelusup ke rongga-rongga sendiku. Ah, hujan lagi. Â Aku tetap tak beranjak dari tempatku di sini di BJK dan membiarkan tempias hujan mengenai tubuhku.
Biarlah aku ingin mengenang kisah itu lagi.
Hujan di awal FebruariÂ
                     Â
Hujan deras mengguyur kota Cantik membuatku terperangkap sendirian di depan pertokoaan Citra Raya. Â Setiap pulang kerja aku selalu menunggu angkot disini. Sudah satu jam lebih aku berdiri di sini, tapi tak ada satupun angkot yang lewat. Hari ini aku pulang agak malam, barang banyak masuk jadi aku terpaksa lembur. Aku bekerja di sebuah Swalayan di jalan A. Yani, aku di bagian gudang.
Hujan semakin menjadi. Aku hampir putus asa, bagaimana mungkin aku bisa pulang kalau hujan seperti ini ? Sebuah motor berhenti di depanku, laki-laki itu turun dari motornya melepaskan jas hujannya dan tersenyum menghampiriku.
"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang." Aku menggeleng, aku tidak mengenalnya.  Bagaimana  mungkin aku ikut dengannya.
 "Cepatlah, aku akan mengantarmu pulang",katanya lagi. Aku tetap menggeleng.
 "Oke, kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa . Tidak akan ada lagi angkot yang lewat, bermalamlah di situ" Dia kembali ke motornya. Aku melirik jamku, sudah hampir jam Sembilan malam, dengan terpaksa aku ikut dengannya.
"Aku Rein, Reinaldi  aku bekerja di Toko Elektonik di sebelah sana , " katanya sambil menunjuk sebuah toko yang tak jauh dari swalayan tempatku bekerja.
"Aku, Reyna"
"Reynataliasi  , kamu bekerja di Sendys Swalayan kan ?", sambungnya lagi.