Mohon tunggu...
dilla rahma
dilla rahma Mohon Tunggu... Lainnya - Kompasianer

peminat pendidikan, linguistik, dan jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

FKIP UMM Kolaborasi dengan Leimena Institute dan Templeton Religion Trust Gelar Program Internasional Bersertifikat Literasi Keagamaan Lintas Budaya

20 Maret 2024   02:27 Diperbarui: 20 Maret 2024   12:02 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malang-Sebanyak 738 guru, dai/daiyah, dan penyuluh agama Islam dari seluruh Indonesia mengikuti Program Internasional Bersertifikat "Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya" yang digelar atas kerja sama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Leimena Institute dan Templeton Religion Trust. Workshop digelar secara synchonus dan asynchronus selama 5 hari, 4---8 Maret 2024.

Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antaragama di Indonesia dengan mengenalkan literasi keagamaan lintas budaya bagi guru dan penyuluh agama. Ada tiga kompetensi yang dikembangkan dalam kegiatan ini, yakni kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif. 

Kompetensi pribadi merujuk pada kemampuan memahami diri sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan Anda dengan orang lain. Kompetensi komparatif merujuk pada kemampuan memahami orang lain sebagaimana dia memahami dirinya sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan mereka dengan dirinya. Sementara kompetensi kolaboratif merujuk pada kemampuan dalam memahami konteksi potensi kolaborasi di antara aktor-aktor yang berbeda keyakinan.

Dalam acara ini, hadir memberi sambutan Dekan FKIP UMM Prof. Dr. Trisakti Handayani, M.M dan Wakil Dekan I FKIP UMM, Dr. Sugiarti, M.Si, serta Direktur Eksekutif Institute Leimena, Matius Ho. Hadir pula ahli-ahli sebagai narasumber, yakni Prof. Dr. Abdulkadir Rahardjanto, M.Si (Wakil Dekan II FKIP UMM), Dr. Nurbani Yusuf, M.Si (Staf Ahli Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan UMM), Dr. Alwi Shihab (Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerjasama Islam 2015-2019), Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Pdt. Dr. Henriette T. Lebang (President World Council of Churches), Dr. Chris Seiple (Senior Research Fellow, University of Washington), Dr. Ari Gordon (Direktur Muslim-Jewish Relations, American Jewish Committee), Dr. David Rosen (Special Adviser to the Abrahamic Family House in Abu Dhabi, UAE), dana Dr. David Saperstein (Duta Besar Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional 2014-2017).

Toleransi Sosial Keagamaan sebagai Solusi Kekerasan dan Konflik di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, menurut Dr. Nurbani Yusuf, kekerasan dan konflik yang disebabkan oleh perbedaan masih kerab terjadi. Bahkan, data menunjukkan bahwa sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia selama 2020. Menyikapi hal tersebut, peserta diajak untuk kembali pada ajaran Islam. "Kita harus menyadari bahwa Islam itu sumber damai dan nirkekerasan. Itu bisa kita lihat misalnya pada Q.Q. Al-Maidah ayat 32, Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 dan Ayat 62, serta keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW," kata dosen senior Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut.

Ia pun menjelaskan bahwa penanganan konflik agama dapat diatasi melalui pendekatan bina-damai (peacebuilding), jaga-damai (peacekeeping), dan cipta-damai (peacemaking). Bina damai yaitu membangun rasa percaya untuk mengurangi mispersepsi dan stereotipe berkaitan dengan hal mendasar untuk memutus rantai penyebab konflik dan kekerasan. "Sementara itu, jaga-damai berkaitan dengan penggunaan instrument negara seperti militer dan cipta-damai berkaitan dengan aksi nyata dan komitmen menolak kekerasan langsung atau structural dalam format apa pun," kata founder komunitas Padhang Makhsyar ini.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Abdulkadir Rahardjanto, M.Si dalam paparannya mengatakan toleransi sosial keagamaan menjadi kunci dalam mengatasi konflik ini. Konsep harmoni sosial-keagamaan mencakup Kerjasama lintas agama, hidup berdampingan secara damai, dan kebebasan beragama. Implementasinya terwujud dalam pembelajaran multikultural yang mengajarkan keberagaman, memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap budaya dana agama, serta meningkatkan kepekaan terhadap perbedaan. "Yang tidak kalah penting, kurikulum harus mengintegrasikan keragaman budaya, agama, dan kehidupan sosial dalam pembelajaran. Kegiatan ekstrakurikuler juga mengakaomodasi dialog antar agama dan pertukaran budaya," pungkas Kadir.

Oleh sebab itu, guru harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam mengenai toleransi sosial mengingat guru memiliki tanggung jawab yang besar besar dalam membentuk pemikiran dan sikap toleran pada generasi muda. "Guru harus mampu menyampaikan ajaran ini secara relevan dan dapat dipahami siswa melalui fasilitasi ruang diskusi terbuka dan penyediaan lingkungan belajar yang inklusif," tegasnya.

Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dalam Sidang PBB ke-55 di Jenewa, Swiss

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun