Mohon tunggu...
muhammad abdillah
muhammad abdillah Mohon Tunggu... lainnya -

Saya hanyalah orang biasa aja dan apa adanya.

Selanjutnya

Tutup

Money

Loyalitas Konsumen (Studi Kasus pada Konsumen Produk Consumer Goods)

5 Januari 2015   22:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:45 2391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsumen produk consumer goods Indonesia mau membayar lebih untuk produk-produk premium. Tidak seperti yang diperkirakan banyak produsen, konsumen Indonesia tidak loyal pada merek tertentu. Isi keranjang belanjaan mereka cenderung homogen. Mereka memilih ukuran keranjang dan kemasan produk yang kecil dan berbelanja berulang kali. Dan mereka dipengaruhi oleh social media dan pemasaran digital.

Meski pasar dikuasai oleh sejumlah pemain besar, bukan berarti tidak ada kesempatan bagi small players maupun new players. Namun untuk memenangkan pasar Indonesia, mereka harus memahami betul karakteristik konsumen, termasuk bagaimana sikap dan perilaku mereka yang cenderung berubah ketika kondisi pasar fluktuatif.

Untuk memahami karakteristik konsumen Indonesia, Bain & Company bekerja sama dengan lembaga survei Kantar Worldpanel melakukan studi pasar Indonesia dengan merekam belanja harian 70 kategori produk dalam periode 1,5 tahun. Penelitian tersebut mencakup 7.000 responden rumah tangga, 5.700 responden di perkotaan dan 1.300 di pedesaan di seluruh Indonesia (kecuali Papua, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara).

“Kami merangkum temuan ini dari penelitian mendalam, antara lain melalui wawancara dengan sejumlah pimpinan senior di berbagai perusahaan consumer goods, wawancara dengan para ahli pasar, mendalami pengetahuan pribadi konsumen, dan melakukan survei dengan data sekunder. Hasilnya, kami mengidentifikasi setidaknya ada lima karakteristik konsumen Indonesia yang perlu diperhatikan oleh setiap perusahaan consumer goods untuk memenangkan pasar,” ungkap Nader Elkhwet, Partner Bain & Company di Jakarta.

Pertama, konsumen Indonesia membayar lebih untuk produk-produk bermerek (premium) yang berkualitas atau bermanfaat secara fungsional. Merek-merek premium memiliki pangsa jauh lebih besar dari pasar yang dibayangkan di Indonesia. Mereka tumbuh lebih cepat daripada merek-merek non-premium di beberapa kategori. Pasar shampoo adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan karakteristik konsumen pertama ini.

Merujuk pada hasil riset Kantar World Panel Survei 2012, merek-merek shampoo premium seperti Dove, Clear, Pantene, Head & Shoulders, Sunsilk, dan Rejoice tercatat tumbuh lebih cepat dibandingkan merek-merek non-premium (merek massal). Jika pada 2007 total revenue shampoo premium di Indonesia mencapai Rp 3 triliun, dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 11%, pada 2012 revenue-nya menjadi Rp 4,9 triliun.

Sedangkan shampoo non-premium, pada kurun waktu yang sama rata-rata pertumbuhan tahunan revenue-nya 8% sehingga pada 2012 menjadi pendapatannya menjadi Rp 1,7 triliun. Karena premium, sekitar 60% merek shampoo dapat dijual dengan harga lebih tinggi karena persepsi tentang kualitas, yang sebagian dibentuk melalui iklan.

“Tidak diragukan lagi, pasar premium yang tumbuh lebih cepat dibandingkan pasar non-premium dikarenakan perusahaan multinasional dan lokal yang menawarkan merek-merek premium cenderung memiliki jaringan distribusi dan ruang pajang yang luas, yang memungkinkan mereka untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. Namun, kami juga percaya bahwa konsumen Indonesia percaya pada janji kualitas atau manfaat fungsional yang lebih tinggi yang ditawarkan produk-produk bermerek. Bahkan 60% merek shampoo dapat dijual dengan harga lebih tinggi karena persepsi tentang kualitas, yang sebagian besar dibentuk melalui iklan. Dan yang terpenting, mereka bersedia membayar lebih untuk itu,” ujar Nader.

Hal ini berlaku juga pada kategori makanan dan minuman. Merek-merek premium seperti Aqua, yang dimiliki oleh Danone, kata Nader, memperoleh 40% dari volume dan menjual 30% lebih mahal dari harga pasaran untuk kategori air mineral dalam kemasan, kemungkinan besar karena persepsi kualitas unggul dan keandalan sumber. Es krim yang ditawarkan oleh Unilever dan Campina, lanjutnya, dijual 450% lebih mahal, dan kembang gula coklat yang ditawarkan oleh merek terkenal Mondelez dan Petra dijual 75% lebih mahal karena keunggulan rasa, bahan-bahan dan kualitas (dikombinasikan dengan iklan TV yang efektif).

Karakteristik kedua, konsumen Indonesia tidak loyal pada merek tertentu seperti yang diperkirakan banyak produsen. Banyak produsen consumer goods cenderung melebih-lebihkan tingkat loyalitas konsumen untuk merek dan produk mereka. Penelitian global Bain menunjukkan bahwa perilaku konsumen berada pada dua titik ekstrem, loyalis dan repertoar. Sebagian besar konsumen menunjukkan perilaku loyalis dan repertoar secara bersamaan, tergantung pada kategori.

Perilaku loyalis adalah berulang kali membeli merek yang sama untuk keperluan tertentu. Kategori loyalis umumnya ditemukan pada konsumen atau pembeli susu formula bayi, susu kental dan popok bayi. Sebaliknya, konsumen menunjukkan perilaku repertoar ketika mereka membeli merek yang berbeda pada kesempatan atau kebutuhan tertentu. Kategori repertoar umumnya mencakup kopi instan, biskuit, dan shampoo. Dalam beberapa kategori produk terdapat perilaku belanja berbeda di berbagai negara.

Nader menjelaskan, konsumen Indonesia lebih terpolarisasi dalam perilaku belanja mereka dibandingkan konsumen di banyak negara berkembang lainnya. Konsumen Indonesia sangat loyal dalam beberapa kategori produk, seperti sikat gigi dan tisu toilet. Namun, konsumen Indonesia menunjukkan perilaku repertoar tingkat tinggi dalam beberapa kategori lain, seperti mi instan dan shampoo, dengan membeli rata-rata hampir 6 merek per tahun. Sebaliknya, rata-rata jumlah merek yang dibeli per rumah tangga di China, setiap tahunnya sedikit bervariasi di semua kategori, mulai dari sekitar 1,6 merek (susu bubuk untuk bayi) sampai 4 merek (deterjen kain dan pasta gigi).

Perilaku loyalis di Indonesia sering didorong oleh terbatasnya pilihan dalam beberapa kategori produk: sedikit merek tersedia, banyak kategori sangat terkonsolidasi, dan ruang pajang terbatas di gerai-gerai ritel skala-kecil. Dengan demikian, banyak konsumen berperilaku seolah-olah setia, padahal alasan sesungguhnya loyal karena sedikitnya pilihan untuk mereka.

Di sisi lain, perilaku repertoar tinggi mungkin sering didorong oleh banyaknya merek buatan lokal dalam beberapa kategori, seperti biskuit. Konsumen Indonesia juga lebih memilih untuk berbelanja lebih sering dari pada konsumen di banyak negara lain. Dalam hal ini, penelitian Bain menunjukkan bahwa ada korelasi antara frekuensi belanja yang tinggi dengan jumlah merek yang dibeli di kategori repertoar.

Karakteristik ketiga, konsumen Indonesia mengisi keranjang mereka dengan produk sejenis—dan umumnya bermerek sama di semua daerah. Penelitian Bain menunjukkan bahwa perilaku belanja konsumen Indonesia tergolong homogen. Sebagai contoh, pilihan sering terbatas karena konsolidasi pasar dan sedikitnya ruang pajang di gerai-gerai ritel skala kecil yang mendominasi di Indonesia.

Terkait distribusi, hal ini berkaitan erat dengan lanskap ritel Indonesia yang terfragmentasi dan didominasi oleh ritel tradisional dan gerai ritel skala kecil. Hingga saat ini, total gerai ritel tradisional di Indonesia sangat mendominasi, yaitu mencapai 2 juta gerai yang terbagi atas physical space sebanyak 1 juta gerai, dan sisanya adalah mobile points of sale. Sementara modern ritel diperkirakan berjumlah 19 ribu gerai.

Meski angkanya masih kecil, Bain memprediksi pada 2017 nilai bisnis ritel modern yang terdiri dari Hypermarket, Supermarket, Convenience &Minimarket tumbuh hingga 16% dari tahun 2007 yang mencapai sekitar USD 47 miliar. Sedangkan ritel tradisional yang nilai bisnisnya diprediksi mencapai sekitar USD 100 miliar pada 2017 rata-rata tumbuh 8% per tahun. “Pertumbuhan pasar ritel modern memang cenderung cepat, namun pasar ritel tradisional akan tetap mendominasi. Dan kami memperkirakan ritel tradisional akan tetap dominan, bahkan ketika ritel modern skala kecil meraih pangsa pasar,” tutur Dominik.

Karakteristik keempat, konsumen Indonesia memilih ukuran keranjang dan kemasan produk yang kecil dan berbelanja berulang kali. Di lingkungan pasar yang sedang berkembang seperti Indonesia, konsumen cenderung memilih ukuran kemasan yang lebih kecil, terutama karena harganya lebih terjangkau dan lebih mudah untuk dibawa. Menurut data Kantar World Panel Survey 2012, konsumen Indonesia membeli rata-rata 60 mililiter shampoo per pembelian, dan biasanya dibundel dalam enam sachet yang masing-masing 10 gram.

“Selain itu, belanja konsumen Indonesia untuk shampoo, sekitar sekali setiap sembilan hari. Lalu, rata-rata ukuran keranjang untuk mi instan adalah 300 gram dimana konsumen membeli mi tersebut setiap tiga hari sekali . Hal ini ini merujuk pada fakta bahwa konsumen Indonesia memiliki daya beli rendah dan lebih mengandalkan pada pasar tradisional, yang umumnya menawarkan produk dengan ukuran kemasan yang lebih kecil. Infrastruktur yang kurang berkembang dan pilihan transportasi juga ikut menyebabkan hal tersebut.”

Karakteristik terakhir, konsumen Indonesia memanfaatkan sekaligus dipengaruhi social media dan pemasaran digital. Indonesia adalah salah satu pengguna media sosial paling banyak dan paling setia di dunia. Dengan total 30 juta akun aktif, Indonesia merupakan pasar nomor lima untuk Twitter dari 500 juta pengguna aktif secara global.

Selain itu, Indonesia juga tercatat sebagai negara keempat dengan lebih dari 60 juta pengguna aktif Facebook dari 1,1 miliar pemilik akun Facebook di seluruh dunia. DKI Jakarta pun dinobatkan sebagai kota Facebook terbesar kedua di dunia dengan lebih dari 7 juta pengguna aktif Facebook. Jejaring besar lain yang banyak digunakan konsumen Indonesia adalah Mig33 dan YouTube.

“Hal tersebut sebagian dikarenakan pasar Indonesia dengan rata-rata usia 28 tahun memiliki populasi anak muda yang cenderung menjadi pengguna jejaring sosial paling aktif. Indonesia juga memiliki budaya mobile yang luar biasa, dengan ketertarikan yang tinggi pada aplikasi-aplikasi social media di seluler.

Konsumen Indonesia, lanjutnya, juga sangat terbuka terhadap pemasaran digital. Sebagai contoh, mereka menggunakan Twitter secara ekstensif untuk mendapatkan informasi dan bantuan tentang suatu produk, dan mereka dengan mudah menyaksikan iklan di Facebook atau YouTube. Sebagian, hal ini mungkin dikarenakan orang Indonesia sangat bergantung pada informasi dari mulut ke mulut tentang suatu merek.

(diambil dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun