Tidak hanya PTBT, Pakistan juga mengambil beberapa langkah untuk menjaga kawasan (Asia Selatan) bebas dari nuklir. Pada tahun 1972, Pakistan menganjurkan konsep denuklirisasi Asia Selatan. Pada tahun 1974, Pakistan mengajukan proposal tentang hal ini (bebas nuklir) ke dalam Majelis Umum PBB berhasil disetujui oleh 96 negara. Pada tahun 1985, Pakistan kembali mengajukan proposal kepada India untuk perdamaian kawasan membuat zona kawasan bebas nuklir di Asia Selatan. Pada tahun 1991, Pakistan mengusulkan konferensi yang terdiri dari 5 negara untuk menyelesaikan masalah proliferasi nuklir di Asia Selatan.
Perspektif kedua datang dari India. Melansir tulisan Runa Das dalam "State, Identity Representations of Nuclear (in) Securities in India Pakistan" alasan India tidak menandatangani perjanjian ini juga atas alasan diskriminatif. India menganggap NPT bersikap diskriminatif karena sikap ketidak universalannya serta perjanjian dianggap tidak mengikat semua negara. Misalnya saja dalam status kepemilikan senjata nuklir pada Pasal 1 Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons yang berbunyi:
"Each nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes not to transfer to any recipient whatsoever nuclear weapons or other nuclear explosive devices or control over such weapons or explosive devices directly, or indirectly; not in any way to assist, encourage, or induce any non-nuclear-weapon State to manufacture or otherwise acquire nuclear weapons or other nuclear explosive devices, or control over such weapons or explosive devices."
Secara singkat, India menentang upaya yang dilakukan untuk non-proliferasi nuklir baik secara regional maupun global. Jelas terlihat bahwa India ingin menjadi negara adidaya berdasarkan program nuklirnya untuk kemudian bergabung dengan rezim non-proliferasi.
Sejalan dengan kedua alasan di atas, beberapa hal tersebut jugalah yang membuat kedua negara hingga saat ini memilih untuk tidak menandatangani TPNW.
Dengan Keadaan Rumit ini, Mungkinkah akan Ada Perang Nuklir di antara Keduanya?
Jika kita melihat sejarah perang dari masa ke masa antara India Pakistan, memang terdapat kekhawatiran akan terjadinya perang nuklir di antara keduanya. Namun pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang membawa kesimpulan bahwa kecenderungan terjadinya perang nuklir di antara India Pakistan cenderung kecil, salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan adalah faktor eksternal. Meski saat ini India Pakistan masuk kedalam jajaran dari negara-negara dengan senjata nuklir terkuat, tidak dapat dihindari juga adanya peran dari negara-negara yang berpengaruh besar seperti Amerika Serikat Cina dapat memengaruhi pergerakan nuklir dari India Pakistan.
Misalnya saja dari sisi India, sejak lama India diyakini telah bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam hal pengayaan uranium yang merupakan salah satu bahan bakar dasar nuklir. Terutama ketika tahun 1955 di mana India mulai program nuklir barunya di Trombay serta adanya bantuan dari Amerika Serikat terkait pembangunan pembangkit listrik bertenaga nuklir di Taraput. Sejak saat itu, terdapat banyak ilmuwan India yang dilatih di banyak universitas serta laboratorium di Amerika Serikat. Meski pada tahap-tahap kebijakan selanjutnya India terus mengembangkan memodifikasi senjata nuklir yang dimilikinya, pada tahun 1999 India membuat pernyataan bahwa tidak akan menjadi negara pertama yang menyerang menggunakan senjata nuklir, kecuali sebagai serangan balasan.
Sedangkan dari sisi Pakistan, sejak adanya pemisahan diri dari Pakistan Barat menjadi Bangladesh, Pakistan mulai membangun program nuklirnya dibantu oleh Negara Cina. Cina merupakan negara penyokong terbanyak dalam berbagai hal seperti pengayaan uranium, bantuan teknis, bahan nuklir, desain hulu ledak, sebagainya.
Dapat disimpulkan, pergerakan nuklir keduanya tidak hanya berdampak bagi mereka tetapi juga negara-negara yang mempengaruhinya. Tentu saja, ancaman nuklir di antara keduanya akan berakibat pada kecaman dunia internasional terutama berkaitan dengan dampak senjata nuklir bagi negara-negara yang ada di sekitarnya. Hingga saat ini keduanya masih berada pada tahap penyeimbangan kekuasaan, di mana masing-masing negara masih berusaha untuk meningkatkan kekuatan senjata nuklir militernya. Tahap security dilemma ini dinilai belum memiliki ujung yang signifikan. Meskipun dalam sudut pandang lain, kemungkinan akan adanya perang nuklir masih ada tidak dapat diprediksi dengan akurat. Layaknya konflik lain, penulis mengharapkan adanya gerakan mediasi di antara keduanya yang dilembagai oleh lembaga besar internasional agar hubungan keduanya melalui kerja sama dapat segera meredam perselisihan.
Referensi: