Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Polemik Sabda Raja Jogja

9 Mei 2015   17:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terlepas dari spekulasi perihal motif dan latar belakang munculnya sabda raja HB X, setidaknya ada tiga poin yang hendak saya bicarakan perihal Sabda Raja HB X. Saya menghindari pembahasan seputar motif dan latar belakang, tentu saja karena saya tidak memiliki kapasitas dan pengetahuan tentang itu. Posisi saya juga jauh dari keraton dan segala pernak-perniknya sehingga akan sangat menambah ruwet bila menambah opini yang bersifat spekulatif. Bahasan lain seperti kedudukan keraton Yogya dari perspektif historis dan politis juga saya yakin banyak yang menyorotinya, bahkan cukup ahli dan mendalam pengetahuannya.

Poin-poin pembahasan itu ingin saya perbincangkan dalam konteks peristilahan dan wacana. Poin-poin tersebut ialah pertama, gelar khalifatullah. Kedua, sabda raja dan dawuh raja itu perintah Allah lewat leluhur dan urgensinya dengan wahyu. Ketiga, kepemimpinan perempuan.

Setelah saya mengamati berbagai media yang memuat judul yang isinya berkeberatan dengan pencabutan (penggantian) gelar 'khalifatullah', saya lihat semua media tersebut ialah media Islam seperti Republika,  dan Hidayatullah serta PKSPiyungan. eramuslim, bahkan lebih 'lebay' lagi dengan menyebutkan bahwa penghilangan gelar 'Khalifatullah' telah melukai perasaan umat Islam se-Indonesia. Dalam hati saya berpikir apakah perlu dan harus sampai sedemikian rupa?

Ketika timbul suatu masalah, (termasuk masalah penamaan atau penggelaran bagi suatu lembaga kepemimpinan), satu hal yang sering terlupakan oleh banyak orang Muslim, yaitu, apa rujukan dari Kitab Suci mereka sendiri, yaitu Al-Qur’an perihal nama atau gelar bagi seorang pemimpin. Itu baru al-Qur’an, belum lagi yang disebutkan oleh Hadits, sabda-sabda Nabi Muhammad saw, lalu teladan para Sahabat Nabi saw dan seterusnya. Adakah indikasi sedemikian rupa merepotkan diri terjun dalam polemik berhari-hari perihal gelar/nama gelar? Ketika Nabi saw diakui sebagai pemimpin Madinah (bahkan oleh non-Muslim), lalu wilayah Hijaz (termasuk Makkah), lalu jazirah Arab, apakah beliau membuat-buat sebuah gelar baru atau tenggelam dalam istilah dan falsafah perihal nama atau gelar? Tidak demikian! Beliau tenggelam dalam doa, amal perbuatan dan kebijakan yang tentu saja jauh lebih berpengaruh dan berdampak luas dan lama bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.

Back to the simple truth (bersahaja dan sederhana). Begitulah intisari dari bahasan ini. Prinsip itu juga yang terjadi dan diamalkan di zaman Khalifah Abu Bakr ra, Khalifah Umar ra, Khalifah Utsman Ra, dan Khalifah Ali ra. Keempat Khalifah tersebut mempunyai prestasi yang jauh lebih baik daripada raja terbesar sebelum HB X atau raja Jawa mana pun.

Belum lagi, pengamalan salah satu isi al-Qur’an, yaitu berpikir dan merenungkan sesuatu. Sesuatu yang perlu dipikirkan ialah apa makna Khalifatullah? Dari segi bahasa dan historis? Jika maknanya adalah seperti yang anda sangka, sudahkah telah dipahami dan dilaksanakan oleh Hamengku Buwono I s.d. IX? Lalu buat apa meributkan soal penyematannya? Bukankah lembaga kepemimpinan itu berisi person pemimpin, yang dipimpin, dan saling mempengaruhi antara keduanya serta dampaknya bagi ruang dan waktu tempat tinggal unsur-unsur tersebut? Apakah urgensi sebuah gelar atau nama atau sebutan? Apalah arti sebuah nama atau sebutan bila faktanya gelar suci Khalifah pun di zaman setelah Khulafa Rasyidin (setelah masa Khalifah Ali bin Abi Thalib), para penguasa Muslim banyak yang tak lebih seperti para penguasa dunia lainnya.

Lalu bagaimana perihal wahyu dan kepemimpinan perempuan? Bisa jadi. Boleh saja. Silakan saja. Lalu, benarkah hanya para nabi dan rasul yang menerima wahyu? Kan ada kitab suci al-Qur’an, saya pelajari sampai sekarang enggak menemukan bahwa hanya para nabi dan rasul yang menerima wahyu, dulu ada dan sekarang enggak ada. Apa itu wahyu dan bagaimanakah jenis-jenisnya? Wahh…bisa panjang dan lebar nih bahasan…moga2 ada waktu untuk membincangkannya. Semoga…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun