Kekerasan adalah bentuk terburuk dari sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ini berpadu dengan radikalisme yang berdasar pada prasangka, kebencian, dan pengerahan massa, maka hasilnya adalah pelanggaran konstitusi yang memberikan perlindungan hak asasi manusia. Namun, bukan berarti kekerasan dan radikalisme tidak bisa dicari akar masalahnya. Diskusi ini berusaha menjawab persoalan-persoalan di atas.
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia) mengadakan acara diskusi dengan tema “Deradikalisasi Agama: Praktek-praktek Terbaik di Indonesia” yang diselenggarakan pada Rabu, 4 Mei 2011, Pukul 12:00 s.d 16:00 WIB (acara diawali dengan makan siang) bertempat di Kantor PSIK-Indonesia. Komplek Liga Mas Indah Kav C-3. Jl. Pancoran Indah, Perdatam, Jaksel 12780
Narasumber: K.H. Masdar Farid Mas’udi (Ketua PBNU), Neng Dara Affiah (Komnas Perempuan), Ismatu Ropi, Ph.D (Peneliti PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Al Chaidar (Pengamat Terorisme).
Acara ini gratis dan terbuka untuk umum namun tempat terbatas untuk 70 orang. Dengan jumlah peserta melebihi target (70), peserta hampir memenuhi ruangan. Anggota JAI yang menghadiri ialah Mln Mirajuddin, Mln. Qomaruddin, Mln. Shamsir Ali, Mln. Dildaar, Irfan (mahasiswa Jamiah) dan Fazal Mujeeb (anggota Jemaat Kebayoran, Jakarta).
Acara dimulai pada pukul 13.00, diawali dengan doa bersama menurut kepercayaan masing-masing. Dalam sambutannya, Yudi Latif menyebuntukan, Acara ini tak ada hubungannya dengan Usamah bin Ladin yang tewas baru-baru ini. Kekerasan terjadi dimana-mana. Yang selalu menjadi korban adalah masyarakat. Tugas Negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Sambutan kedua perwakilan dari (Kesbangpol Depdagri RI) Mohammad Saudi yang menyebut-nyebut mengenai keunikan Indonesia yang penuh pluralitas suku, agama, pulau dan lain sebagainya.
Moderator: Penyerangan kaum radikal thd saudara sendiri yang tadinya penyerangan ke simbol2 Barat. Para pelaku terorisme juga adalah korban indoktrinasi, korban diskursus, politisasi dan sebagainya.
Penyampaian oleh narasumber pertama, Masdar Farid Mas’udi diantara poinnya ialah sebagai berikut: Hasil radikalisasi adalah cap teroris kepada Islam, sebuah kerugian yang paling nyata. Sedangkan hasil yang positif dari radikalisme/terorisme belum jelas (tidak ada). Terorisme yang dilakukan oleh umat Islam berarti menyangkal dirinya sendiri karena Islam adalah agama salaam/perdamaian. Kita menyalahkan para teroris maka salahnya ialah apakah betul mereka telah memperjuangkan Islam? Bukankah resultante/hasil yang nyata adalah jatuhnya citra Islam itu sendiri?
Sesuatu yang menggelisahkan ialah bila menyaksikan di mobil-mobil ada lafaz laa ilaaha illallah namun dibawahnya ada gambar pedang. Citra Islam yang semakin porak poranda. Kalau tidak dilakukan langkah yang radikal agama Islam sudah tidak punya daya jual/nilai untuk ditawarkan kepada umat manusia.
Harus ada penanganan yang spesifik dan serius berkaitan dengan radikalisme dan terorisme atas nama islam. Kita harus berbagi tugas. Kalangan agamawan paling cepat yang disalahkan. Harus ada pembalikan perspektif scr radikal dari radikalisme menuju kelembutan. Khutbah-khutbah masjid di kota jumlah khutbah yang berisi tema kelembutan dan kedamaian lebih sedikit dibanding yang sebaliknya. Agenda menebar kebencian dalam khutbah-khutbah perlu diteliti lebih lanjut. Mayoritas dominan khatib2/penceramah-penceramah kita ialah mengambil tema2 kekerasan, membangun kegarangan, dan seterusnya.
Dalam mengambil ayat-ayat al-Quran pun dipilih atau dirujuk pada ayat-ayat ‘keras’ bukan ayat-ayat damai maksudnya ayat-ayat yang kalau ditafsirkan secara sempit akan terlihat atau terasa menganjurkan kekerasan.