[caption caption="Ilustrasi Ayah dan Aku (credit to: loop.co.id)"][/caption]
Kasih ibu sepanjang masa. Begitu juga kasih ayah, sama sepanjang masanya.
Ayah, engkau sangat sederhana. Tidak mudah terpengaruh standar kebahagiaan yang selalu berkembang dan menjadi rumit dan kompleks. ‘Nrima Ing Pangdum’ adalah prinsip utamamu. Hidup tidak perlu sengaja mencari-cari sesuatu yang sesungguhnya kita tidak sungguh-sungguh tahu untuk apa itu. Itu katamu. Tapi, hidup juga sesungguhnya mencari jati diri. Itu juga katamu.
Aku masih ingat hangatnya punggungmu saat kau mengantarkanku menuju tempatku menimba ilmu dengan sepeda tua itu. Aku selalu memeluk erat punggungmu. Hangat, kurasakan kasihmu menjalar dari punggungmu yang renta ke tangan-tangan mungilku yang tak berdaya. Rentamu itu tak patah semangat mengantarkanku hingga aku menjadi gadis muda belia. Aku tidak pernah merasa malu dengan keadaanmu itu. Sepedamu yang semakin tua, kulit-kulitmu yang keriput, keringat dan bau matahari yang melumuri tubuhmu. Aku tidak pernah malu. Meski, ada temanku yang entah tujuannya apa berkata dengan congkaknya.
“Aku tadi melihatmu, kau diantar Bapak tua dengan sepeda tuanya, ya?”, katanya menyambutku di kelas.
Ayah, sesungguhnya aku ingin marah. Tapi, dia sesungguhnya juga tidak salah. Engkau memang seorang Bapak tua. Dan sepedamu juga sama tuanya. Dia tidak salah. Aku mungkin yang terlalu mengasihimu hingga aku ingin dan hampir marah.
Aku menghela nafas panjang mencoba menghabiskan amarah yang tersisa di dada.
“Iya, kamu benar. Bapak tua itu, Ayahku.”, kataku sambil tersenyum dan berlalu dari hadapannya.
Lalu setelah itu, aku belajar untuk tidak lekas marah untuk hal-hal yang tidak layak untuk "dimarahi".
Ayah, engkau selalu mengusahakan yang terbaik untukku. Engkau dengan sepada rentamu itu berusaha membuatku mendapatkan yang terbaik. Baju terbaik, tas terbaik, sepatu terbaik, buku terbaik, juga sekolah terbaik. Semua untukku yang terbaik. Meski standar terbaik bagi kita berdua tidaklah sama dengan standar terbaik dunia. Tapi selama hidupku, aku tetap menganggap itu yang terbaik.
Engkau sangat bangga terhadapku. Katamu, aku anak yang baik. Aku tidak pernah membuat masalah untuk mencemari namamu dan nama keluarga kita yang semeleh itu. Katamu, aku anak yang pintar. Aku mampu menembus sekolah-sekolah terbaik yang menurut mitos sulit ditembus oleh kaum papa seperti kita. Aku selalu begitu, hingga aku telah dewasa.