Sewindu sudah, aku merantau
Kampung yang berjarak antara seribu pulau dan samudra
Tak kutemui lagi, sebuah kehangatan di kota singgah ini
Hanya sepi yang mengobati
Betapa tandus dan rakus mereka disini
Tak mau saling berbagi
Hidup dan mati urus sendiri
Emosi mereka tak bisa ku selidiki
Aku hanya mengikuti kata hati, Bertahan atau kembali
Sepi malam mengoyakku, ku rindu dinding kayu rumahku
Ber atap gonjong runcing menantang awan biru
Kami menyebutnya rumah gadang
Mata haru menatap halaman luas dialas rumput teki
Hijau dan menari di terbang angin
Ingin kujajaki lagi kenangan  di rumah gadangku
Bersama keluarga, Â dunsanak dan saudara
Pesan  Amai selalu tergiang- ngiang
Rumah gadang sudah lapuk dimakan anai
Pulanglah Nak, tak ingin kau lihat matanari terbenam dari jendela kayu, kamarmu..
Lantai papan, sudah merindukan telapak kakimu
Mari kita kembali membuat kenangan baru
Di rumah Gadang Kita yang semakin rapuh di ujung waktu.
Pesan Amai, tak bisa kubalas dengan kata-kata Doakan anakmu, kembali membawa tawa untukmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H