Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lingga Anak Kampung

13 November 2019   08:13 Diperbarui: 13 November 2019   08:21 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sungguh iba hati ini saat melihat dua orang pemuda, menggunakan seragam kerja pakai baju batik. Mereka terlihat gagah, rapi dan pintar. Saya tidak tertarik dengan ketampanana mereka. Tapi yang kuingat saudara kandungku dirumah yang tidak kuliah, bagaimana nasib keluarga ku kelak, jika pendidikannya masih kurang. Teringat olehku si pak HJ. Ali yang semua anaknya sukses dikota. Dulu Hj. Ali dan keluarganya persis sama dengan nasib kami Hari ini, dimana bekerja mengolah sawah dan ladang orang lain.

Keluarga besarku pun, belum Ada yang sukses, banyak yang putus Sekolah. Aku lah cucu pertama yang kuliah. Aku ingin adikku juga kuliah. Karena kuliah bisa membuatnya berpikiran luas dan banyak pengalaman. Orang lain pun juga menghargai Kita. Sekarang aku tidak tertarik dengan masalah percintaan.

Aku lebih sering meneteskan air mata mengingat nasib keluarga ku sekarang, yang belum ada perubahan. Ibu dan ayahku masih bekerja dari pagi sampai sore di sawah. Apalagi hasil panennya tahun ini , banyak dimakan tikus. Tidak putus-putus kesedihan hati , ditimpa masalah yang memberatkan keluargaku.

Memang kejadian satu detik tidak bisa Kita ramalkan kedepannya. Hanya saja belum ada seberkas cahaya melihat kehidupan esok. Tuhan aku tidak banyak permintaan, cuma saja aku ingin Saya Dan adik-adikku, bisa  membahagiakan kedua orangtua, yang umurnya sudah habis ditengah sawah. Wajar saja jika aku tidak dapat membendung kesedihan tiap waktu.

****
Sepertinya energi dari tubuh ini sudah habis, setelah siap mengajar di salah satu sekolah swasta di kotaku kuliah. Meskipun hanya dibayar perjam, setidaknya sudah menolongku untuk bayar biaya hidup di kota persinggahan ini. Syukurlah semua siswa yang kudidik mudah diatur dan mereka sangat semangat belajar seklai seminggu denganku. Senyuman bahagia setiap bertemu dengan mereka bagaikan kado terindah yang kudapatkan setiap minggunya.

Pulang dari mengajar aku kembali balik kekampus, karena sore ini masih ada jadwal kuliah. Tradisi mengajar sambil kuliah juga dilakukan oleh beberapa siswa lainnya. Setidaknya kuliah sambil kerja memberikan pengalaman baru bagi saya dan teman yang lain.

Setidaknya ada uang tambahan dan tidak perlu meminta ke orangtua dikampung. Biasanya beberapa Kali aku butuh uang dan menghubungi orang tua tak jarang akan kudengar "ibuk, lagi ngak duit, jadi Lingga pinjam duit orang lain aja duluya." Aku pun harus mencari solusinya sendiri. Aku tahu ibuk dan ayah uangnya habis, pasti siap bayar hutang ke Bank. Beginilah keadaan keluargaku sekarang, aku percaya pasti ada hikmah dari semua ini. Lingga gadis desa yang berjuang harus kuat dan semangat, kata-kata itu penyemangat hidupku disetiap kondisi sulit menimpa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun