"Takut 66, Takut 98"
Mahasiswa takut pada Dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada Rektor
Rektor takut pada Mentri
Mentri Takut pada Presiden
Presiden Takut pada Mahasiswa
(Taufik Ismail, 1998)
      Puisi Takut 66 Takut 98 karya Taufik Ismail ditulis ketika masa reformasi dan banyak mahasiswa yang turun ke jalan. Kata-katanya sederhana tapi bermakna dalam dan lebih. Takut berarti merasa gentar (ngeri) dalam mengahadapi sesutu yang dianggapnya sebagai bencana.Mahasiswa takut dosen.Memang mahasiswa takut pada dosen apalagi soal nilai dan daftar hadir. Kadang ada juga mahasiswa yang tidak peduli dengan penjelasan dosen, yang penting dia hadir terus dalam perkuliahan itu.
      Puisi ini juga menggambarkan jabatan, dimana semakin tinggi jabatan seseorang maka orang itu akan tunduk dan takut. Urutannya mahasiswa, dosen, dekan, rektor, menteri dan terakhir presiden. Tapi di akhir puisi ditulis Presiden takut pada Mahasiswa. Kenapa bisa begitu? Karena mahasiswa memiliki sesuatu yang lebih, jabatan yang lebih. Kenapa Mahasiswa? Karena mereka lebih dari seorang siswa yang kewajibannya hanya belajar dan belajar. Mahasiswa harus melakukan tindakan. Aksi dari Mahasiswa-lah yang ditunggu. Bukan lagi dipancing tapi harus memancing. Saatnya melakukan suatu pengabdian kepada msyarakat, melakukan perubahan dan memberikan energi-energi positif kepada rekan-rekan yang lain. Begitulah alasan Taufik menciptakan puisiTakut 66 Takut 98.
Pada hari Senin tanggal 22 April 2019, Mahasiswa Jurusan Seni Teater dari Kampus ISI Padang Panjang, Yeni Wahyuni, dalam acara "Karnaval Seni" Mahasiswa ISI Padang Panjang angkatan '16 yang bertemakan "Surat Kabar", membawakan sebuah pertunjukan teater ekperimental dari puisi TaufikTakut 66 Takut 98. Yeni yang sebagai sutradara tertarik dengan puisi tersebut, karena makna dan kandungan yang di dalam puisi tersebut juga membahas persoalan yang terjadi pada saat sekarang di lingkungan kampus dan masyarakat. Pertunjukan yang berjudul 66/99 dan berdurasi 30 menit membawa penonton yang menyaksikan malam itu hanyut dalam suasana pemberontakan masa reformasi