Mohon tunggu...
Dikson kardinal
Dikson kardinal Mohon Tunggu... Guru - Penulis cerita pendek. Guru Pendidikan Agama, dan Leaders of Love in Story.

Table Tennis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen Persahabatan Tanpa Suara

17 April 2024   09:56 Diperbarui: 15 Juni 2024   20:12 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seorang wanita remaja yang berbeda dengan remaja pada umumnya. Selama ini aku hanya menghabiskan waktuku dengan beraktivitas di rumah. Aku merasa malu jika harus beraktivitas di luar rumah karena keterbatasanku. Hal itu terjadi karena masa SD-ku yang tak sesuai ekspektasi orang tuaku. Mereka berharap bahwa ketika aku dimasukkan dalam dunia pendidikan teman-teman akan menerima keadaanku. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, teman-temanku melakukan tindakan perundungan (bully) terhadap aku. Oleh sebab itu, ketika akan memasuki sekolah menengah pertama aku di berikan pendidikan dari rumah oleh orang tuaku dan hingga sekarang aku duduk di bangku sekolah menengah atas aku tetap bersekolah dari rumah.

Kehidupan ini sungguh sangat tak diharapkan untuk terjadi pada diriku. Aku merasa kesepian dengan kondisi yang kualami dan terlebih lagi aku tak suka dengan perlakukan orang tuaku yang terlalu membatasiku. Kehidupan ini telah aku jalani selama bertahun-tahun dan aku hanya bisa bersabar. Semuanya aku lewati hanya dengan pengharapan bahwa suatu saat mereka akan berubah dan aku dapat menjalani kehidupan dengan tenang.

Selama aku bersekolah di rumah, aku tak pernah sekalipun merasakan suasana di luar. Aku selalu di larang oleh orang tuaku untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain. Terkadang aku berpikir, apakah orang tuaku malu memiliki anak dengan kondisi sepertiku? Atau ada hal lain yang mereka sembunyikan dariku? Pertanyaan itu yang sering terlintas dalam pikiran. Hingga pada suatu saat aku mencoba untuk bertanya kepada kedua orang tuaku tentang mengapa aku tak boleh keluar rumah. Penjelasan mereka begitu singkat dengan perkataan untuk kebaikanmu. Mereka tidak mau menjelaskan lebih jauh lagi tentang apa yang terjadi dengan diriku.

Pada saat senja di suatu hari, aku mencoba untuk menikmati hal yang baru setelah sekian lama tak ku lakukan. Aku ingin menikmati hal yang berbeda dari yang biasanya aku lakukan. Sore itu aku memutuskan untuk melakukan kegiatan di sekitar rumahku yang penuh dengan orang berjualan di pinggir jalan. Hampir 5 tahun yang lalu terakhir kali keluar rumah dan hari itu aku memutuskan untuk mencobanya lagi. Sebuah tekad yang besar membuat aku berani untuk mengambil keputusan itu dan melakukannya.

Dalam keputusanku hari itu, aku berjalan di sekitar kompleks rumahku. Seperti yang ku katakan di awal, pinggir jalannya dipenuhi oleh orang-orang yang berjualan. Aku merasa bahwa apa yang aku lihat bukanlah duniaku. Itu bagaikan aku berada di dunia lain. Pemandangan yang tak pernah aku lihat sejak 5 tahun terakhir. Banyak perubahan yang terjadi namun aku tak tahu semuanya itu. Semakin aku mengayunkan langkahku, semakin aku kagum dengan apa yang kulihat. Aku menikmati setiap langkahku dan tanpa terasa matahari sudah mulai menghilangkan cahayanya.

Dalam suasana yang hampir gelap, aku melanjutkan penjelajahanku di dunia yang rasanya sangat baru bagiku. Semakin gelap suasana saat itu, semakin banyak orang yang ku lihat berjalan, berbelanja, dan juga yang sedang menikmati makanan. Mataku hari itu rasanya sangat bahagia setelah sekian lama tak melihat banyak hal yang terjadi. Aku mencoba melupakan semua yang telah terjadi selama 5 tahun terakhir dengan terus mengayukan kakiku dengan menapaki langkah demi langkah.

Perjalanan yang tak melelahkan itu, ada satu hal yang membuatku terhenti. Mataku tertuju pada sebuah tempat berjualan yang berbeda dengan tempat yang ada di sekitarnya. Tak ada suara teriakan menawarkan sebuah jualan, tak ada juga yang mengunjungi tempat itu. Sepinya tempat itu bagaikan  hari-hariku 5 tahun terakhir. Tak ada kebisingan, tak keramaian, tak ada yang membuat hari-hariku menjadi berwarna.

Langkahku terhenti dalam sebuah tatapan yang membawa aku pada rasa penasaran. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, aku berpikir untuk mengunjungi tempat itu. Namun ada hal lain yang aku pikirkan sebelum beranjak menuju tempat itu. Akankah dia akan mengerti apa yang akan aku sampaikan? Apakah aku akan baik-baik saja? Pertanyaan yang membuatku ragu untuk melanjutkan niat mengunjungi tempat itu.

Dalam keheningan pikiranku, aku memutuskan untuk tetap mengunjungi tempat itu. Langkah demi langkah membawa diriku mendekat dan semakin dekat hingga aku sampai di tempat yang aku maksudkan tadi. Rasa takut dalam diri tetap kurasakan dan terus membuatku takut untuk berinteraksi. Namun, ketakutanku menjadi berkurang saat pemilik tempat tersebut memulai percakapan dengan cara yang aku gunakan. Dari sapaan itu aku dapat mengetahuinya bahwa ia memiliki kekurangan sama seperti diriku. Sapaan yang disampaikan kepadaku membuatku merasa adanya penerimaan dengan kehadiranku.

Melalui percakapan awal yang membuatku tak ragu lagi untuk melakukan percakapan lebih lanjut. Aku mulai menunjuk beberapa makanan yang tersedia di kedainya. Tanpa menunggu waktu lama setelah aku menunjuk beberapa jualan, ia dengan cepat menyediakannya untukku. Aku melihat setiap gerakan yang dilakukannya dengan begitu lihai dan tak menyangka bahwa dia memiliki kekurangan sepertiku. Dari apa yang dilakukannya aku dapat belajar bahwa kekurangan yang kami miliki hanyalah satu tetapi mengapa dia bisa melakukan sesuatu dengan bebas sementara aku harus berdiam diri di rumah terus menerus.

Setelah dia mempersiapkan apa yang aku beli, ia memberikannya kepadaku dan ternyata tanpa aku sadari cukup banyak yang terbeli. Tanpa melupakan hal yang penting lagi aku menyodorkan uang untuk membayar belanjaanku. Meskipun aku sudah menerima apa yang telah aku beli dan membayarnya, kami tetap melanjutkan percakapan yang belum selesai karena terpotong dengan belanjaan dan uang bayaran. Percakapan yang terjadi itu adalah percakapan terpanjangku setelah 5 tahun aku berdiam di rumah. Kami melakukan percakapan dengan menghabiskan waktu hampir 3 jam. Dan akhirnya percakapan terhenti dikarenakan kedai sudah akan ditutup. Aku pun berpamitan untuk balik terlebih dahulu dari dia dan percakapan berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun