Peluit Kick Off Liga Indonesia sudah ditiup awal bulan Februari ini. Perebutan gelar paling bergengsi di tanah air itu sudah resmi dimulai. Denyut nadi Liga Indonesia kembali mengencang setelah sempat redup karena adanya dualisme liga. Klub-klub besar pun mempersiapkan diri sebaik mungkin menyambut Liga Indonesia musim ini. Masing-masing dari mereka ingin menasbihkan diri sebagai klub terbaik. Transfer pemain pun dilakukan oleh masing-masing klub guna mengarungi kompetesi. Eiitsss.. nanti dulu, di Indonesia transfer pemain adalah sesuatu yang langka bahkan nyaris tidak ada.
Jangan harap transfer pemain dari sebuah klub ke klub lain lumrah terjadi di Indonesia. Di Indonesia yang ada adalah perekrutan pemain bukan transfer pemain. Setiap musim klub-klub peserta Liga Indonesia selalu bergonta-ganti pemain. Setiap musim baru, skuad sebuah klub selalu berubah. Di liga Indonesia hampir mustahil melihat pemain yang hanya membela satu klub selama karirnya seperti Fransesco Totti atau Paolo Maldini di Serie A (Serie A salah satu liga terbaik di eropa).
Di Liga Indonesia sebagian besar pemain yang berlaga membela klubnya masing-masing dikontrak rata-rata (hanya) satu tahun. Artinya musim depan belum tentu pemain itu kembali mengenakan seragam yang sama. Dengan kata lain pemain baru datang ke sebuah klub karena kontraknya dengan klub lama sudah habis. Bukan karena klub baru membayar dengan jumlah yang sudah disepakati kepada klub lama. Bisa dikatakan bahwasannya sebuah klub di Liga Indonesia berpotensi kehilangan pemain andalannya tanpa mendapat keuntungan sepeserpun. Dengan begitu tidak ada laba yang diraih oleh klub lama. Padahal klub-klub di Inggris (di Inggris sepak bola sudah menjadi industri) penjualan pemain merupakan salah satu pemasukan bagi sebuah klub. Dengan menjual pemainnya, sebuah klub mendapat suntikan dana segar untuk mengembangkan klub. Contoh yang paling nyata adalah Mega Transfer Gareth Bale dari Tottenham Hotspur ke Real Madrid. Pemain asal Wales itu menjadi pemain termahal sejagad raya setelah di beli oleh El Real. Tottenham Hotspur memang kehilangan sosok pemain hebat tetapi kehilangan itu bukanlah kehilangan yang sia-sia. Dana “Segunung” yang masuk ke kantong klub menjadi bayaran yang sepadan. Klub asal London Utara itupun untung besar. Hal itu karena Bale terikat kontrak yang lama, bukan hanya satu tahun. Jadi jika ada klub yang berminat kepada pemain hebatnya itu haruslah mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar. Hal yang demikian akan sangat menguntungkan buat klub dan membantu klub lebih mandiri secara finansial. Apakah di Indonesia ada transfer semacam itu? Tentu tidak, yang ada hanya pemain termahal berdasarkan gaji yang mereka terima dari klub. Pemain masih bisa diuntungkan dengan nilai kontraknya yang besar dari klub barunya, tetapi apa yang didapat klub lamannya? Sebut saja salah satu pemain bergaji mahal di Liga Indonesia yaitu Greg Nwokolo yang kini berseragam Persebaya. Nilai kontrak Greg dengan Persebaya sangat besar namun apa yang didapat oleh Arema (klub Greg sebelumnya)? Atau cerita lain dari Persib Bandung yang ditinggal pergi oleh striker andalannya Sergio Van Dijk. Klub tidak mendapat apa-apa dari kepergian bintang mereka. Ketiadaan transfer pemain ini pada akhirnya membuat sepak bola Indonesia tetap jauh dari kata industri.
Lebih lanjut apabila ditinjau dari segi entertaint, transfer pemain mampu membuat sebuah kompetisi menjadi lebih menarik. Bisa kita ambil contoh transfer Robin Van Persie dari Arsenal ke Manchester United atau transfer Juan Mata dari Chelsea ke Manchaster United membuat Liga Premier Inggris semakin menarik diikuti. Transfer-transfer seperti itu kerap menjadi “bumbu” yang membuat sebuah kompetisi menjadi lebih hidup. Sepak bola merupakan olah raga yang terus diperbincangkan meski 90 menit pertandingan sudah usai. Transfer pemain merupakan salah satu faktor utamanya.
Selain ketiadaan transfer pemain, yang nyeleneh dari sepak bola Indonesia adalah waktu perekrutan pemain. Sering sekali pemain didatangkan lebih dulu ketimbang pelatih. Beberapa klub sudah sibuk mengontrak pemain padahal mereka belum memiliki pelatih. Oleh karena itu jarang sekali kita mendengar seorang pelatih di Liga Indonesia membidik seorang pemain untuk bisa bergabung dengan klubnya. Pelatih-pelatih di Indonesia bisa saja mengatakan membutuhkan seorang striker tetapi belum tentu bisa dengan gamblang menyebut nama striker idamannya. Klub juga bisa saja memberikan pemain berposisi striker seperti yang pelatih butuhkan tetapi belum tentu striker yang didatangkan benar-benar seorang striker yang diinginkan pelatih tersebut. Berarti bahwa di Indonesia pelatih bukanlah orang yang menentukan siapa-siapa saja pemain yang akan bergabung. Ibarat seorang Chef,pelatih di Liga Indonesia adalah seorang Chef yang ditugasi memasak dengan bahan-bahan yang sudah ditentukan dan tidak bisa leluasa memilih bahan yang ia sukai.
Selesai dengan fenomena ketiadaan transfer dan waktu perekrutan pemain, sekarang mari bicarakan fenomena ketiga yang membuat sepak bola Indonesia makin telihat nyeleneh. Sebelum Timnas U-19 menghegemoni sepak bola nasional, apa banyak yang tahu Evan Dimas itu siapa? Main di klub apa? Normalnya setiap pemain terlebih dahulu harus tampil oke di klubnya hingga menyita perhatian publik baru bisa masuk Timnas. Di Indonesia pemain masuk Timnas terlebih dahulu baru terkenal dan direkrut klub besar. Contoh yang paling menarik adalah kapten Timnas Senior Boaz Salossa. Boaz ditemukan oleh Peter White saat dirinya berlaga di PON membela daerahnya Jayapura. Peter White yang ketika itu menjabat sebagai pelatih timnas memanggilnya untuk mengenakan seragam kebesaran Merah Putih. Setelah Boaz main untuk Timnas barulah namanya populer dan direkrut oleh klubnya sekarang, Persipura. Bisa saja jika dahulu Peter White tidak memainkannya di Timnas, Boaz tidak direkrut oleh Persipura dan kita tidak tahu siapa dia. Selain Boaz ada nama M Nasuha, Hasim Kipuw, Diego Michel, Irfan Bachdim, T A Musafri, dan nama-nama lain yang masuk Timnas dulu baru populer dan direkrut klub besar. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa Timnas adalah penyedia pemain bagi klub-klub besar di Indonesia. Seharusnya klub-klub tersebut yang menyediakan pemain untuk Timnas bukan malah sebaliknya. Karena muara dari sebuah kompetisi adalah pembentukan Timnas yang baik. Tahun 2014 ini Piala AFF akan digelar dan pelatih Timnas Alfred Riedl sedang memantau para pemain yang akan dipanggil. Kita tunggu siapa pemain yang akan meneruskan kenyelenehan ini.
Sambil menunggu mari kita sama-sama lihat tabel kelasemen Liga Indonesia musim ini. Siapa pemuncak klasemen masing-masing wilayah baik barat atau timur? Berapa perbedaan poin sang pemuncak klasemen dengan tim di bawahnya? Nah.. inilah kenyelenehan selanjutnya dari sepak bola Indonesia. Jika di Liga-liga Eropa setiap pekan seluruh klub bertanding, tidak demikian di Indonesia. Pada Liga-liga Eropa (yang sudah maju) seluruh klub akan bermain, jadi jumlah pertandingan mereka sama setiap pekannya (kecuali jika pertandingan ditunda akibat ada gangguan). Terkadang ada jadwal tambahan di mana pertandingan di gelar pada tengah pekan dan itupun serentak seluruh klub bertanding. Namun di Liga Indonesia setiap pekan ada klub yang bertanding ada juga yang tidak. Di Indonesia sampai pekan ini saja ada klub yang sudah bermain sebanyak lima kali tetapi masih ada yang empat, bahkan masih ada yang baru tiga kali. Berkaca ke Liga inggris (liga yang digadang-gadang sebagai liga terbaik di dunia) perebutan puncak klasemen selalu menarik untuk diikuti. Itu karena setiap pekan seluruh klub bertanding jadi perebutan klasemen lebih terlihat karena jumlah pertandingan mereka sama, penikmat sepak bola tinggal melihat jumlah poin dan selisih gol mereka saja. Para fans pun mudah jika harus hitung-hitungan apabila klub favoritnya menang, seri, atau kalah. Akankah klub favoritnya mampu naik ke puncak klasemen atau justru sebaliknya.
Sebagai contoh, saat ini Chelsea sedang memuncaki klasemen Liga Inggris diikuti Arsenal, Man City dan Liverpool masing-masing diposisi dua, tiga , dan empat. Chelsea kini hanya unggul satu poin dari Arsenal di posisi kedua. Jika akhir pekan ini Chelsea hanya bermain imbang apalagi kalah, sedangkan Arsenal berhasil mendulang tiga angka, kita semua tentu tahu apa yang akan terjadi di tabel klasemen. Demikian juga dengan pekan-pekan selanjutnya. Jika di Liga Inggris atau Liga-liga Eropa lain, setiap pekan (secara teratur) para fans bisa melihat klub kesayangannya berada diposisi berapa dan bisa berandai-andai jika pertandingan selanjutnya menang, seri, atau kalah, namun tidak demikian di Liga Indonesia. Hal itu juga membuat klub-klub di Inggris dan para fansnya tahu betul berapa poin yang harus didapat sebelum melakoni pertandingan. Apakah wajib tiga poin atau hasil imbang saja sudah cukup untuk menggeser klub lain di posisi atas atau setidaknya untuk mempertahankan posisi di klasemen. Di Liga Indonesia hal itu lebih sulit dilakukan. Karena fans harus melihat juga jumlah pertandingan klub lain yang berbeda-beda. Belum tentu setelah menang di pekan ini klub favoritnya akan Berjaya di papan atas karena pesaingnya belum bertanding. Tak heran mengapa perebutan posisi puncak klasemen antara satu klub dengan klub lain jarang menyita perhatian publik dan menjadi bahan perbincangan. Dampak nyata dari itu semua adalah Liga Indonesia kehilangan salah satu keseruan sebuah kompetisi, yakni perebutan posisi diklasemen.
Apa yang baru saja kita bahas barulah dari segi non-teknis. Masih banyak perbedaan lain antara sepak bola di negeri ini dengan di negeri lain yang jauh sudah maju. Begitulah adanya, begitulah sepak bola kita. Terlepas dari itu harus diakui juga sepak bola Indonesia mengalami hal-hal positif dari waktu ke waktu. Tidak perlu malu belajar dari negeri orang, selama itu akan membuat matahari sepak bola kita semakin cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H