Mohon tunggu...
Dikri Muhammadi
Dikri Muhammadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Positif

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Main Cerdik dong Timnas!

12 November 2018   10:02 Diperbarui: 12 November 2018   10:24 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kartu merah Putu Gede menggambarkan bahwa sebagian besar pemain sepak bola Indonesia belum bermain secara cerdik.

Emosi dalam sepak bola merupakan hal wajar. Setiap pemain bola manapun pasti memiliki emosi ketika bermain (marah, senang, sedih, dan lain-lain). Tetapi sedikit sekali pemain yang mampu menangani emosinya dengan baik sekalipun pemain pro khususnya di Indonesia. 

Kartu merah Putu Gede menggambarkan bahwa sebagian besar pemain sepak bola Indonesia belum bermain secara cerdik. Mungkin (hampir pasti) atmosfer ini dikonstruksi secara berkelanjutan saat bermain di liga. Bagaimana pemain menghadapi keputusan wasit yang merugikan? Bagaimana menghadapi lawan yang bermain kasar, dan seterusnya

Saya teringat apa yang dilakukan Juan Cuadrado terhadap Sergio Ramos ketika Juventus menghadapi Real Madrid di Final Liga Champions tahun 2017. Pemain Kolombia itu "termakan" umpan Ramos yang begitu tricky. Hasilnya? Cuadrado diusir keluar lapangan dan Juventus kalah telak. 

Sergio Ramos memang dicaci setelah kejadian itu tetapi melihat dari sisi mentalitas, Ramos jauh mengungguli Cuadrado. Mentalitas Ramos itu mampu membawa pulang tropi Liga Champions. Ramos licik? Tidak, dia cerdik. Kenapa? Karena Ramos pernah berada di posisi Cuadrado. Kapten timnas spanyol itu gagal mengkontrol emosinya saat melanggar keras Leo Messi ketika el classico. Ramos tak mampu menjaga mentalnya, melanggar Messi secara brutal, dihadiahi kartu merah, dan Real Madrid kalah di hadapan pendukungnya sendiri.

Bermain sepak bola itu tidak hanya membutuhkan skill. Karena jika hanya skill, mungkin Indonesia sudah mendominasi Asia Tenggara. Mentalitas dalam bermain perlu diperhatikan karena itu sangat memnentukan. 

Cobalah bermain cerdik!. Manfaatkan sisi non teknis untuk membantu memenangkan sebuah pertandingan. Pancing emosi lawan, jangan lawan yang memancing emosi kita. Coba "komporin" wasit ketika salah satu pemain kita dilanggar. Lihat saja bagaimana tim-tim besar (khususnya Barcelona) begitu aktif "mendekati" wasit ketika ada salah satu rekannya yang dilanggar. Mereka berusaha mempengaruhi wasit agar mengeluarkan keputusan yang merugikan tim lawan. Apakah hal itu dilarang? Tidak sama sekali. Itu adalah sebuah pertarungan dalam hal yang lain, hal mentalitas.

Indonesia memang gudangya pemain bola dengan skill bagus, tetapi atmosfer liga kita belum membentuk pemain dengan skill bagus menjadi seorang pemain bermental bagus pula. Jangan hanya menjaga emosi dalam bermain, tetapi coba menangani emosi tersebut untuk menjadi senjata lain dalam menghadapi sebuah pertandingan. 

Apa yang dilakukan bench cadangan Thailand ketika final Piala AFF 2016 lalu memperlihatkan itu. Mereka sengaja menahan bola ketika Indonesia sedang buru-buru. Abduh Lestaluhu yang terpancing justru merugikan tim Indonesia. Apa mereka licik? Tentu saja tidak, mereka mampu memenangkan permainan mental melawan pemain kita. Pertanyaannya adalah kenapa kita tidak pernah berada di pihak mereka? Kenapa kita selalu dalam pihak yang terpancing (kalah mental)?

Sepak bola kita ini sudah sangat haus akan gelar. Bermainlah dengan cerdik, karena memenangkan pertandingan hanya dengan lari kencangmu saja tidak cukup wahai febri, riko, dan lainnya. Bermainlah secara cerdik, niscaya kita akan juara (bukan hanya juara dihati masyarakat).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun