Kami senang bisa melihat gol Fachrudin dan Boaz saat bentrok dengan Filipina. Rasa senang itu sebagai simbol perasaan cinta kami terhadap Tim Nasional (Timnas). Melihat permainan Timnas yang masih gitu-gitu ajabukanlah hal baru buat kami. Hasil akhir yang mengecewakan pun sudah biasa. Hal itu dikarenakan ungkapan “Timnas yang dibenci sekaligus dirindukan”bukanlah isapan jempol belaka. Entah berapa kali Timnas mengecewakan dan berapa kali juga kami bertahan tetap merindukan timnas berlaga.
Faktanya memang begitu, kalah melawan Thailand dan imbang kontra Filipina. Apakah ada yang bilang hasil itu hasil yang bagus? Ah…mungkin orang mabuk saja yang bilang iya. Pada pertandingan pertama, Timnas sempat menyamakan kedudukan menjadi 2-2, tetapi apa yang terjadi? Terasil Dangda justru melengkapi Hattricknya. Hasil akhir? Thailand 4 – 2 Indonesia. Mengecewakan? Tentu, mengejutkan? Tidak itu sudah biasa. Apakah itu membuat kami meyerah? Tidak, kami tetap percaya dan antusias menanti kiprah Timnas selanjutnya melawan Filipina.
Selama penantian pertandingan kedua kami percaya Timnas mampu menang dan membuka jalan ke babak semi final. Pada sampai akhirnya pertandingan kontra Filipina tiba dan kepercayaan kami tak hilang. Namun lagi-lagi hasil akhir tidak seperti yang diharapkan. Meskipun mampu unggul dua kali, Timnas tak kuasa menjaga keunggulan. Philip “suami muda” Younghousband mampu merubah skor menjadi 2-2 dan memaksa laga berakhir imbang. Hasil akhir itu tentu mengecewakan, ya mengecewakan. Apakah itu membuat kami meyerah? Sekali lagi tidak, kami tetap percaya dan antusias menanti kiprah Timnas selanjutnya melawan Singapura.
Tapi sampai kapan begitu? Kepercayaan, dukungan, dan doa kami tak pernah luntur. Rasa cinta kami yang membuat itu semua tetap berdiri kokoh. Apakah ada faktor lain yang mampu membuat kami bertahan? Tidak. Meskipun sering dikecewakan, rasa cinta kami seolah tak mau kendur meski sejengkal.
Kalau boleh kami meminta, jangan buat cinta kami menjadi cinta yang tak terbalas. Satu-satunya balasan yang sepadan adalah prestasi internasional. Pernah liat pertandinangan Timnas sepi penonton? Ah….Semua sudah tau jawabannya. Kami tak minta permainan kelas dunia karena itu butuh waktu yang sangat lama dan untuk berprestasi di (setidaknya) level Asia Tenggara belum dibutuhkan permainan level dunia. Terlebih banyak contoh yang menunjukan bahwa tidak selalu harus main bagus untuk juara.
Ingat Malaysia di 2010? Mereka dihabisi tanpa ampun (skor 5-1) ketika penyisihan grup tapi justru mengalahkan Timnas di final dan akhirnya juara. Apapun caranya total football, parkir bus, atau apapun itu kami tak peduli jika diakhir turnamen Piala juara bisa di arak bersama. Sebelum ke arah sana, yang paling dekat adalah tolong wujudkan keinginan kami yang sudah merindu menyanyikan lagu Indonesia Raya (lagi) di tanah air tercinta. Kami rindu menyanyikan lagu kebangsaan kami sendiri dengan lantang dan hati yang bergetar.
Mengalahkan Singapura adalah harga mati.Timnas harus meraih satu tiket tersisa sebagai runner-up.Karena sudah tidak mungkin melewati Thailand di puncak grup. Saat ini Timnas menempati juru kunci grup dengan raihan 1 angka sama dengan Singapura yang duduk di peringkat tiga (tetapi lebih baik dalam selisih gol). Jika pertandingan berakhir imbang maka kedua Tim sama-sama mengoleksi dua poin dan Singapura akan tetap unggul selisih gol. Artinya Timnas akan tetap berada di bawah Singapura. Jadi hasil seri apalagi kalah haram hukumnya.
Timnas harus menang melawan Singapura agar mampu lolos fase grup (dengan catatan Filipina tidak menang melawan Thailand). Menilik pertemuan terakhir Timnas dengan Singapura terjadi di Piala AFF 2012. Saat itu gol spektakuler Andik membawa Timnas mengalahkan Singapura. Kami percaya Timnas pasti bisa. Kalahkan Singapura!!! dan kita akan melantukan Indonesia Raya bersama (lagi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H