"Fiat Justicia Ruat Caelum itu Hanya Omong Kosong Belaka Apabila Akses Pendidikan Belum Gratis, Penguasaan Sumber Daya Ekonomi Masih Dikuasai Oleh Segelintir Kelompok Elitis dan Kemiskinan Masih Dibiarkan Karena Dianggap Sebuah Nasib Yang Tragis!"
- Diki Yakub Subagja
Slogan "Hukum adalah Panglima" dalam bernegara ternyata hanya bisa kita temukan dalam Buku-Buku, Jurnal-Jurnal dan Diskursus kalangan akademis saja.
Persetan dengan berbagai macam asas, teori ataupun norma tentang hukum yang ada ternyata tidak berguna jika sistem dalam realitas sosial yang ada ternyata kekuatan akumulasi kapital yang menjadi pelopor segala tindak-tanduk aparatus negara maupun lembaga swasta.
Tanpa peran akumulasi kapital, ternyata Hukum hanya sebatas teks dan slogan belaka. Bayangkan saja, apakah nilai-nilai dalam norma hukum itu akan bekerja jika para Hakim, Jaksa, Polisi sampai Pengacara tanpa ada "angka" dibalik profesi mereka?
Bayangkan saja, apakah para peserta didik atau mahasiswa dan tenaga pendidik yang belajar tentang Hukum nantinya akan bekerja secara ikhlas untuk menegakkan supremasi Hukum tanpa adanya hitungan "angka" yang menjerat proses pendidikan mereka?
Bahkan naasnya, meskipun hanya sebatas candaan belaka, tidak sedikit mahasiswa Hukum yang lebih tertarik untuk fokus di bidang perdata karena pengaruh iming-iming dan prospek "succes fee" yang luar biasa.
Apalagi di tambah dengan role model yang menjadi idola mereka adalah para penegak hukum yang menggunakan asesoris emas dan mutiara dari atas sampai bawah tubuh mereka.
Uhh... Nikmat betul sepertinya jadi mereka yaa?
Dalam konteks pidana ataupun tata negaranegara juga, rasa-rasanya lebih baik membela kepentingan-kepentingan pejabat negara daripada membela masyarakat jelata.
Alasannya tentu sudah jelas! Selain daripada "alibi" bentuk kesetaraan dalam hak mengakses bantuan hukum, kesenjangan "angka" diantara mereka juga sudah jelas terlihat jauh berbeda.