Mohon tunggu...
Moch Diki Widianto
Moch Diki Widianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mahasiswa yang hobi pada Jurnalistik dan ingin terus belajar menggali ilmu jurnalistik lebih dalam lagi serta menjadi jurnalis yang independen

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Aduh Laper, Ikut DEMO Aja !

12 Juli 2015   19:49 Diperbarui: 12 Juli 2015   19:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto dari berbagai Sumber - Demo Nasi Bungkus !"][/caption]

Ini merupakan pengalaman pribadi yang telinga Saya dengar "Laper ? Hayu kita ikut demo" dari seorang mahasiswa asal salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Entah apa motifnya, saya kira ini sudah menjadi rahasia umum dewasa ini. Saya pada waktu itu masih berada di semester 2 salah satu perguruan tinggi swasta di daerah R************. 

Saya pernah 1 tahun aktif disalah satu OKP yang mana pada waktu itu kebetulan sedang ada Forum Koordinasi antar Cabang yang digelar selama kurang lebih 2 hari di salah satu daerah. Saya yang masih buta dengan organisasi hanya ikut-ikutan saja, setiap ada isu politik saya pasti tak bisa tinggal diam untuk ikut serta memperjuangkan idealisme saya terhadap kebenaran dalam Unjuk Rasa yang digelar.

Namun sangat disayangkan setelah mendengar kalimat itu, saya sangat terkejut, terlebih saya banyak mendengar cerita miring yang telah menjadi rahasia umum aktivis. Entahlah masih masih adakah aktivis yang idealis atau malah pragmatis. Cukup membuat saya kecewa saat saya mendengar cerita dari seorang yang dikucilkan karena terindikasi berhianat di OKP. Dia bercerita bahwa saat saya sedang memperjuangkan rakyat kecil bersama kawan-kawan. Tanpa disadari dan diketahui petinggi organisasi sudah islah dengan pemerintah. Sangat mengecewakan sekali.

Mungkin sudah tidak ada lagi idealisme dari aktivis dalam membela kebenaran. Namun meski bagaimanapun ada banyak aktivis yang bergerak dibidang relawan sosial dll yang masih idealis. Hanya saja, ironis apabila idealisme bisa dibeli dengan kertas bernominal. Sungguh miskin hati dan harta.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun