Hembusan angin di siang itu seakan memaparkan lirih
Tajam dingin sejuknya menusuk pori-pori batin kegelisahan
Dengan harmoni cakrawala sedikit malu-malu mempersembahkan terang
Diselimuti tipis kabut kehidupan disekitarnya
Langkah-langkah kami begitu terasa kecil dan berat
Menyusuri hutan cemara menanjak dan berbatu
Genit gerimis sang empunya menyambut kami dalam lelah
Peluh menetes, nafas tersengal, kaki gontai tak kuasa
Dalam lelah dan letih kaki-kaki ini terus berpijak
Memerhati dan mengamati disekeliling yang ada
Rimbunnya hutan cemara
Riuhnya angin gunung tak terbatas; lepas
Jalan berkelok penuh batu dan mendaki
Kepedulian satu dengan yang lainnya menjadi cemara di hati
Silih berganti melepas lelah dalam pendakian mengenal diri
Deras gerimis meleleh menjadikannya hujan
Angin bertiup kencang mengoyak tubuh-tubuh ketiadaan
Dingin memagut pada tubuh-tubuh yang basah dan kuyup
Sebentar lagi puncak itu menyajikan malam di atas kelam
Berjalan kami mencari titik persinggahan
Hanya sebatang terang dari senter harapan menjadi penuntun jalan
Gemuruh angin menghantarkan ketakutan semakin dalam
Tenda-tenda pelindung diri seakan ingin berlari dipekatnya malam
Pagi lekaslah kembali!
Doa-doa beribu kali sudah diberi
Harapan kemanusiaan tinggi menanti menjadikan puisi
Di tengah tebalnya kabut tanpa hati masih menyimpan mimpi
Potret-potret kamera menjadi saksi ironi di waktu pagi
Prau 2565 mdpl tersimpan asa ada terang dipuncaknya
Satu wajah nampak murung kau matahari
Di puncak Prau kami mengerti; harapan itu sudah terjual-beli olehnya.
Prau, 14 Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!