Malam itu, langit di atas Pondok Pesantren An-Nur II terhampar gelap, diselimuti kabut malam yang menambah kesunyian seakan menutupi setiap jejak langkah. Angin berdesir pelan, menggoyangkan daun-daun yang terlelap dalam kedamaian. Suasana di sekitar masjid sangat tenang, hanya terdengar suara jangkrik yang bersahutan di kejauhan. Di sudut masjid yang penuh dengan lampu modern yang temaram, Hafizh duduk bersila, memegang mushaf kecil di tangan kanannya. Hatinya gelisah, meski ia baru saja menyelesaikan membaca surat Al-Mulk.
Hafizh merasa ada yang aneh malam itu. Biasanya, ia merasa damai setelah membaca Al-Qur'an, seolah ada ketenangan yang meresap ke dalam jiwa. Tapi malam ini, ada perasaan yang berbeda. Sesuatu yang belum bisa ia namakan, seperti firasat yang menyentuh relung hatinya. Sesaat, ia menutup mata dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Tiba-tiba, suara lembut namun tegas memanggil namanya. "Hafizh!"
Hafizh membuka mata dan menoleh. Di pintu masjid, berdiri Ustadz, seorang pengajar yang sangat dihormati di pesantren. Sorot matanya selalu tajam, tetapi penuh kebijaksanaan. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya, meskipun masih ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya.
"Ada Apa Ustadz, Kenapa manggil Hafizh malam-malam?" tanya Hafizh dengan sopan, segera bangkit dari tempat duduknya dan melipat mushaf.
Ustadz Salam melangkah masuk ke masjid, mendekati Hafizh yang masih berdiri. "Kyai memanggilmu, Hafizh. Mulai besok pagi, kamu akan membantu di ndalem."
Kata 'ndalem' langsung menggetarkan hati Hafizh. Ndalem, tempat keluarga Kiyai tinggal, bukan hanya rumah biasa. Itu adalah tempat yang dihormati, penuh dengan kebijaksanaan, tetapi juga penuh dengan godaan yang mungkin tidak bisa ia hindari.
"Ndalem?" Hafizh bertanya dengan nada bingung.
Ustadz Salam mengangguk pelan. "Ya, Kyai ingin kamu membantu di sana. Mulai besok pagi. Siapkan dirimu."
Hafizh hanya mengangguk, meski pikirannya penuh tanda tanya. Kiyai memanggilnya untuk sesuatu yang lebih besar, tetapi ia tak mengerti apa yang dimaksud.
Malam itu, Hafizh kembali ke kamarnya dengan pikiran yang tak menentu. Langit-langit kamar dengan bola lampu yang mati seolah semakin menekan dirinya, memaksa ia untuk merenung lebih dalam. Apa yang dimaksud dengan 'memilih' dirinya untuk membantu di ndalem? Bukankah banyak santri lain yang lebih layak santri yang lebih pintar, lebih berpengalaman, lebih bijaksana?