Ditengah malam, dalam suasana yang dinyanyikan oleh sepi terdengar sayup-sayup suara angin yang menemani. Menandakan kemarau di bulan Juni. Aku sedang menikmati luka yang sengaja kau torehkan, yang lebih dalam dari sayatan pedang. Luka yang tak lagi bisa diucapkan dengan kata-kata. Tanpa sadar, air matapun ikut membasahi pipi, karena hanya air mata yang dapat melukiskannya.
Aku menikmati luka, membuatnya semakin terasa perih kala mengingat kenangan bersamanya, dalam sekejap semua kenangan indah itu berubah menjadi luka. Semua janji-janji manis yang diucapkan, tak pernah terbesit olehmu untuk mewujudkannya. Kau memilih pergi dan mematahkan hati.
Aku pernah begitu peduli, tapi tak pernah dihargai. Aku pernah begitu setia, tapi kau mengkhianatinya. Aku pernah begitu menjaga, namun akhirnya kau melepaskannya. Aku pernah begitu mencintai, tapi hanya luka yang kau berikan sebagai balasannya. Kau membiarkan hati ini terluka amat dalam. Sudah puaskah kau lukai, puaskah kau hancurkan semuanya sehingga tak lagi berfikir jika sekedar mengumpulkan serpihan-serpihan hati yang hancur karena kepergianmu, untuk membuatnya utuh kembali rasanya itu sang
at mustahil.Kemana aku harus membawa luka ini? apakah hanya menikmatinya seumur hidupku? Atau bahkan membuangnya kelautan lepas dan menguburnya dalam-dalam. Mungkin aku sudah mengikhlaskan kepergianmu dan pernah terluka olehmu, tetapi aku akan selalu ingat sejenak duniaku pernah berhenti karenamu dan pernah sehancur oleh kepergianmu atas luka pengkhianatan ini.
Aku mencoba melupakan luka yang kau buat. Melangkah melawan keterpurukan dan kesedihan ini. Mencoba merajut asa kembali tanpamu. Mencoba memaafkan dirimu. Yang ingin kukatakan pada dirimu adalah terima kasih kau telah torehkan luka. Yang membuat diri ini belajar tentang keikhlasan. Sepahit apapun luka yang kau berikan itu pernah aku nikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H