Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Ujung Jalan Sempit

6 Februari 2025   10:52 Diperbarui: 11 Februari 2025   13:10 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Image Creator, Microsoft Bing)

LILIS, seorang perempuan muda, seperti pada pagi yang lain, menyusuri jalan itu dengan bakul penuh sayur. Jalan itu sempit, seperti lorong ingatan yang mengurung Lilis dalam bayang-bayang kelam. 

Bau comberan bercampur anyir darah di jalan itu semakin menyesakkan dada. Di sana, tembok-tembok berlumut menjadi saksi bisu dengan bisikan dan tatapan penuh curiga.

Lilis tahu, bukan hanya suara teriakan dagangannya yang menggema di gang-gang itu, tetapi juga bisik-bisik yang terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. "Bagaimana bisa Warta mati tanpa jejak? Lilis tahu sesuatu," suara-suara itu seperti jarum-jarum kecil yang menusuk ke telinganya, menyelinap hingga ke dalam mimpinya.

Warta, suaminya, ditemukan tewas di bantaran sungai sepuluh hari yang lalu. Tubuhnya kaku, terbungkus dalam karung bekas. Warga hanya menduga-duga, entah siapa yang melakukannya. Namun, Lilis tahu lebih dari yang mereka pahami.

Di dapurnya yang pengap, sebuah pisau berkarat terselip di bawah lemari kayu. Pisau itu masih menyimpan noda yang tak sepenuhnya hilang, meskipun sudah ia gosok berkali-kali.

Malam itu, dalam sunyi yang merambat perlahan, Warta pulang dalam keadaan mabuk. Ia membentak, menampar, lalu berteriak seperti binatang terluka.

"Aku ini suamimu! Kau harus patuh!" Suaranya menggelegar.

Lilis diam, tubuhnya menggigil. Tetapi ketika Warta mengangkat pisau yang kini berkarat itu, ada sesuatu yang meletup dalam dirinya. Bukan ketakutan, melainkan keberanian yang lahir dari luka-luka lama. Dalam detik yang serupa kilatan petir, ia merebut pisau itu dan menusukkannya ke tubuh Warta. Sekali, dua kali, lalu entah berapa kali lagi.

Dan kini, pisau itu diam di bawah lemari, seperti dosa yang tak bisa disembunyikan selamanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun