LILIS, seorang perempuan muda, seperti pada pagi yang lain, menyusuri jalan itu dengan bakul penuh sayur. Jalan itu sempit, seperti lorong ingatan yang mengurung Lilis dalam bayang-bayang kelam.Â
Bau comberan bercampur anyir darah di jalan itu semakin menyesakkan dada. Di sana, tembok-tembok berlumut menjadi saksi bisu dengan bisikan dan tatapan penuh curiga.
Lilis tahu, bukan hanya suara teriakan dagangannya yang menggema di gang-gang itu, tetapi juga bisik-bisik yang terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. "Bagaimana bisa Warta mati tanpa jejak? Lilis tahu sesuatu," suara-suara itu seperti jarum-jarum kecil yang menusuk ke telinganya, menyelinap hingga ke dalam mimpinya.
Warta, suaminya, ditemukan tewas di bantaran sungai sepuluh hari yang lalu. Tubuhnya kaku, terbungkus dalam karung bekas. Warga hanya menduga-duga, entah siapa yang melakukannya. Namun, Lilis tahu lebih dari yang mereka pahami.
Di dapurnya yang pengap, sebuah pisau berkarat terselip di bawah lemari kayu. Pisau itu masih menyimpan noda yang tak sepenuhnya hilang, meskipun sudah ia gosok berkali-kali.
Malam itu, dalam sunyi yang merambat perlahan, Warta pulang dalam keadaan mabuk. Ia membentak, menampar, lalu berteriak seperti binatang terluka.
"Aku ini suamimu! Kau harus patuh!" Suaranya menggelegar.
Lilis diam, tubuhnya menggigil. Tetapi ketika Warta mengangkat pisau yang kini berkarat itu, ada sesuatu yang meletup dalam dirinya. Bukan ketakutan, melainkan keberanian yang lahir dari luka-luka lama. Dalam detik yang serupa kilatan petir, ia merebut pisau itu dan menusukkannya ke tubuh Warta. Sekali, dua kali, lalu entah berapa kali lagi.
Dan kini, pisau itu diam di bawah lemari, seperti dosa yang tak bisa disembunyikan selamanya.
***