Si Melon dan Dampak Kebijakan Baru
oleh Dikdik Sadikin
Pada 1 Februari 2025, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan baru yang membatasi distribusi elpiji 3 kg hanya melalui pangkalan resmi Pertamina, dengan melarang penjualan melalui pengecer. Kebijakan ini bertujuan memastikan distribusi yang lebih tertata dan harga yang sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah daerah.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, menyatakan bahwa pembelian di pangkalan resmi lebih murah dan terjamin takarannya, karena pangkalan menyediakan timbangan untuk memastikan berat isi tabung elpiji 3 kg. Namun, implementasi kebijakan ini menimbulkan tantangan baru. Di beberapa daerah, seperti Tanjung Duren, Jakarta Barat, warga harus mengantre panjang untuk mendapatkan elpiji 3 kg di pangkalan resmi. Akses ke pangkalan resmi juga menjadi kendala bagi masyarakat di daerah terpencil yang terbiasa membeli melalui pengecer.
Bagi masyarakat yang tinggal jauh dari pangkalan resmi, biaya tambahan harus dikeluarkan untuk transportasi. Sebagai contoh, seorang warga di Kabupaten Lebak, Banten, harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer ke pangkalan resmi, dengan ongkos ojek mencapai Rp15.000-Rp20.000 sekali jalan. Jika setiap bulan dibutuhkan empat tabung, maka ongkos tambahan bisa mencapai Rp120.000, hampir menyamai harga dua tabung elpiji.
Ketergantungan Warga Miskin terhadap "Si Melon"
Data dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa realisasi penyaluran elpiji 3 kg terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2019, realisasi penyaluran mencapai 6,84 juta metrik ton, meningkat menjadi 7,14 juta metrik ton pada tahun 2020, dan mencapai 7,46 juta metrik ton pada tahun 2021. Peningkatan ini menunjukkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap elpiji 3 kg sebagai bahan bakar utama untuk memasak.
Melihat kebutuhan dan ketergantungan masyarakat miskin ini, Subsidi elpiji 3 kg pada awalnya diciptakan sebagai jaring pengaman sosial. Namun, dalam praktiknya, subsidi ini sering tidak tepat sasaran. Studi menunjukkan bahwa mayoritas penerima subsidi berasal dari kelompok menengah ke atas, sementara 30% masyarakat termiskin hanya menerima 25% dari total subsidi yang diberikan pemerintah. Hal ini terjadi karena distribusi subsidi tidak terkontrol dengan baik, sehingga banyak masyarakat mampu turut serta membeli karena harga elpiji 3 kg yang murah.Â
Dibandingkan dengan dengan negara-negara tetangga, harga elpiji di Indonesia memang berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Harga gas di Indonesia rata-rata US$8,3 per MMBTU, sedangkan di Malaysia US$6,6 per MMBTU dan Thailand US$7,7 per MMBTU. Perbedaan ini disebabkan oleh sistem penetapan harga yang berbeda-beda di setiap negara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa kebijakan pembatasan distribusi ini bertujuan untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Ia menyatakan, "Kami ingin subsidi ini benar-benar dinikmati oleh masyarakat miskin, bukan oleh mereka yang mampu. Dengan sistem ini, distribusi bisa lebih transparan dan akurat."
Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, yang menilai bahwa kebijakan ini justru berdampak negatif pada usaha kecil dan menengah. "Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tersebut merupakan kebijakan blunder lantaran mematikan pengusaha akar rumput, menyusahkan konsumen, dan melabrak komitmen Presiden Prabowo yang berpihak kepada rakyat kecil," kata Fahmy Radhi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu, 2 Februari 2025.