Menulis untuk Mengabadi: Mengapa Kartini Lebih Dikenang daripada Cut Nyak Dien?
Oleh Dikdik Sadikin
Laporan UNESCO tahun 2023 menyebutkan bahwa 90% dari tokoh yang dikenang dalam sejarah adalah mereka yang meninggalkan tulisan.
SEJARAH adalah tentang siapa yang menuliskannya. Kita mengenang Raden Ajeng Kartini bukan karena ia yang paling keras melawan penjajahan, bukan karena ia mengangkat senjata atau memimpin pasukan seperti Cut Nyak Dien atau Keumalahayati. Kita mengenangnya karena ia menulis.
Dalam literatur sejarah, Cut Nyak Dien baru diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964, hampir enam dekade setelah kematiannya. Sementara itu, Kartini, yang wafat pada usia 25 tahun, telah lebih dulu dikenang melalui penerbitan surat-suratnya oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911, hanya tujuh tahun setelah kematiannya. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang segera menjadi rujukan penting dalam diskusi tentang pendidikan dan emansipasi perempuan di Hindia Belanda, menjadikan nama Kartini lebih dulu dikenal dibanding pejuang perempuan lainnya.
Namun, Kartini lahir dalam kultur Jawa yang menempatkan perempuan nyaris seperti properti. Sebagaimana digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Gadis Pantai, perempuan muda di Jawa yang dinikahi orang kaya sebagai istri kesekian dapat dengan mudah diceraikan begitu saja setelah melahirkan anak perempuan dan diusir dari rumah. Tradisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Aceh.
Di Aceh, bahkan jauh sebelum Kartini lahir, menurut Win Wan Nur di portal lintasgayo.co (2020), perempuan telah merasakan emansipasi dalam bentuk yang lebih konkret. Perempuan Aceh memiliki harga diri yang tinggi dalam pernikahan. Mereka tidak datang tanpa modal, melainkan membawa hadiah bagi calon suaminya, selain menerima mahar. Yang lebih penting, dalam sistem adat Aceh, laki-laki yang menikah harus pindah ke rumah perempuan dan beradaptasi dengan adat istiadat kampung istrinya. Ini mencerminkan penghormatan terhadap perempuan sebagai Po Rumoh, yang berarti "pemilik rumah". Sistem ini sangat kontras dengan struktur patriarki di Jawa pada zaman Kartini, yang mengurung perempuan dalam batasan adat dan hukum adat yang membatasi akses mereka terhadap pendidikan dan kemandirian.
Menurut UNESCO, hanya 1 dari 5 perempuan di Hindia Belanda yang dapat membaca dan menulis pada awal abad ke-20. Dalam kondisi ini, tulisan Kartini menjadi pengecualian yang langka dan berharga. Pada tahun 1903, angka buta huruf perempuan pribumi masih di atas 95%, sementara kebijakan kolonial lebih banyak berfokus pada pendidikan kaum lelaki. Kartini tidak hanya mengeluh tentang ini dalam suratnya, tetapi juga mengusulkan sistem pendidikan bagi perempuan pribumi yang kemudian menjadi inspirasi bagi berdirinya Sekolah Kartini pada tahun 1912.
Menulis tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga memperpanjang usia pemikiran. Kita bisa membandingkan Kartini dengan banyak tokoh sejarah lainnya. Imam Al-Ghazali, misalnya, dikenal sebagai "Hujjatul Islam" bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi karena ia meninggalkan lebih dari 70 karya tulis, termasuk Ihya Ulumuddin, yang hingga kini masih menjadi referensi utama dalam kajian Islam. Sementara itu, kakaknya, Ahmad Al-Ghazali, meskipun juga seorang ulama besar, kurang dikenal karena tidak banyak meninggalkan karya tulis.
Contoh lain adalah Sunan Kalijaga, yang dikenal luas dibandingkan para wali lainnya karena ajarannya yang didokumentasikan dan dikembangkan dalam berbagai bentuk kesenian, sementara wali lain yang lebih asketis, seperti Sunan Giri, kurang dikenal di kalangan awam.
Secara global, laporan UNESCO tahun 2023 menyebutkan bahwa 90% dari tokoh yang dikenang dalam sejarah adalah mereka yang meninggalkan tulisan. Dalam konteks Indonesia, fenomena yang sama terjadi dalam dunia kepemimpinan dan pemikiran. Bung Karno, meski tidak menulis secara langsung, meninggalkan pidato dan gagasan yang terdokumentasi dalam berbagai buku, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, sehingga pemikirannya tetap hidup. Sebaliknya, ada banyak pemimpin yang berjasa, tetapi karena tidak mendokumentasikan pemikiran mereka, jejaknya perlahan menghilang.