Acil Bimbo dan Jembatan Kenangan
Oleh Dikdik Sadikin
MALAM itu, Ahad, 4 Mei 1997. Di sebuah gedung di Kiara Condong, Bandung, pernikahan kami berlangsung di antara sorot lampu, tamu-tamu yang datang berpasangan, tawa yang mengalir seperti sungai waktu yang masih membias dalam ingatan.
Namun, di antara semua tamu, ada satu tamu yang berbeda. Dia datang sendiri, sebagaimana lagunya yang terkenal---"Sendiri"---dilantunkan dalam suara baritonnya yang menghanyutkan, penuh jiwa.
Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, S.H., M.Kn., atau Acil Bimbo sebagai salah satu personel Bimbo, bukan sekadar tamu. Ia datang tidak sebagai undangan biasa, melainkan sebagai sahabat lama.
Bagi kami, ia lebih dari seorang legenda. Ia adalah kenangan yang berjalan, menghubungkan masa lalu dan hari ini. Ia sahabat papah saya, Farid Sudarbo, seperti juga ia sahabat Bapak Rahmat Hadis, ayah dari istri saya. Dua nama yang baginya bukan sekadar nama, tapi bagian dari perjalanan yang pernah ditempuh bersama.
"Jadi Rahmat teh besanan jeng Farid?" tanyanya dalam bahasa Sunda saat itu, seolah waktu membawanya kembali ke hari-hari ketika mereka remaja.
Di bangku SMP BPI Bandung, Rahmat Hadis duduk di sisinya; di SMA 5 Negeri Bandung, Farid Sudarbo adalah sahabat sekelas. Ia tak pernah menyangka, di pernikahan kami, ia menjadi jembatan yang mempertemukan dua sahabat yang telah menua bersama ingatan mereka.
Acil datang di ujung acara. Ruangan hampir kosong. Tamu-tamu lain telah pergi, hanya sisa suara langkah dan meja-meja yang perlahan dibereskan. Acil sepertinya sengaja memilih kedatangan saat seperti itu agar waktu menjadi hanya milik mereka.
Kami, mempelai, masih di panggung, mengikuti arahan fotografer, tersenyum di antara cahaya lampu yang mulai redup.
Di sudut yang lebih tenang, Acil duduk bersama dua sahabat lamanya. Percakapan mereka mengalir dalam hangat rindu yang tak bisa diterjemahkan.